Rabu, 04 Februari 2015

New Project "4Girls"



4Girls



          

Assalamu’alaikum....

Hai Readers, kali ini saya akan membocorkan sedikit tentang project cerpen saya selanjutnya. Kali ini tidak seperti cerpen yang biasa saya post yang cuma hanya satu halaman, yang ini beda loh...
Kali ini saya buat berhalam-halaman (?) *apalah nih bahasa.
Cerpen saya yang satu ini terinspirasi dari pengalaman saya sendiri bersama teman-teman saya. Sesuai dengan judulnya, cerita ini tetntang persahabatan 4 cewek, tidak hanya itu banyak konflik yang harus mereka hadapi, dari kisah antar teman sampai konflik asmara.
Cerpen ini bergenre Friendship, Romance, Family dan School karena ceritanya tentang anak SMA.
Cerpen ini masih dalam tahap pembuatan dan masih belum selesai. Saya tidak tahu kapan nih cerpen selesai -_-. Maklum saya sudah kelas 12 jadi harus fokus sama pelajaran dan sekarang lagi sibuk-sibuknya buat kedepanya mau nerusin kemana. Tapi, saya akan berusaha menyelesaikan cerpen ini dan akan segera saya post diblog saya ini. :D
Mohon do’anya ya semoga tahun ini saya dan teman-teman saya lulus UN dan masuk PTN favorit masing-masing. Aminnn......


Selasa, 03 Februari 2015

Hujan di Musim Panas

Hujan di Musim Panas

Penulis : Cholifatur Rohmah
Genre : School, romantic, friendship
Tokoh utama:~ Nana
~ Amar
~ Syifa’


Di pagi yang cerah……………………….
          “Nana, kamu beli sarapan di sekolah ya! Ibu tidak sempat membuatkanmu sarapan!” jelas ibu sambil menyuapkan makanan untuk cucu satu-satunya itu. Nana hanya terdiam dan sesekali ia melirik kakaknya yang sedang sarapan dimeja makan. Ya, ibunya selalu membelikan sarapan untuk kakaknya, namun tidak pernah membelikan untuk Nana, itu karena sekolah Nana tidaklah terlalu jauh dari rumahnya, sedangkan kakaknya yang sudah kuliah disalah satu Politeknik Kesehatan Jurusan Keperawatan Negeri yang harus ia tempuh dengan sepedah motor barunya, walaupun baru mengambil jurusan DIII, namun orang tua Nana begitu membanggakan anak nomor dua itu, mungkin orang tua Nana berpikir bahwa hanya anak itu yang bisa membuat kehidupan mereka lebih baik, setelah Kakak pertamanya yang penurut hanya menjadi seorang office boy disalah satu perkantoran, dan setelah kasih sayang orang tuanya hilang pada diri Nana. Semua berubah pada diri Nana, dari yang ceria, murah senyum, dan sangat manis menjadi anak cuek, tidak pernah peduli dengan apa yang orang lakukan disekitarnya.
          “Bu, Nana berangkat! Assalamu’alaikum!” ucap Nana sembari mencium tangan Ibunya dan pergi.
          “Wa’alaikum salam” jawab ibunya singkat.
Nana berjalan keluar rumah menuju sekolahnya, dia sekarang duduk dikelas 10 Aliyah Negeri, setelah dinyatakan tidak masuk disekolah favorit. Itu yang membuatnya berubah, hanya satu yang ada dipikirannya bahwa ia harus mengubah dunia, entah bagaimana caranya, karena dunia telah mengubah hidupnya menjadi seperti ini, dikhianati teman, mendapat ejekan dari orang, dan kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya.
“Nana!” sapa seorang laki-laki dari belakang, Nana sangat mengenal suara tersebut, segera ia berhenti dan melihat kebelakang. Itu adalah Kak Syifa’, kakak kelasnya sekaligus teman belajarnya sejak kecil. Dia adalah anak yang cerdas sama seperti Nana, sejak dulu tujuan orang tuanya juga menyekolahkannya disana karena ingin mendapatkan pendidikan yang lebih.
“Seharusnya kau menjemputku! Kenapa berjalan terus?” Tanya Syifa’ yang sekarang sudah berada disamping Nana, berjalan sambil berbincang-bincang.
“Ma’af kak! Aku kira kakak sudah berangkat dulu” Jawab Nana dengan diselingi senyum tipisnya.
“Tidak apa-apa.” Kata Syifa’ “Oh ya, nanti kamu jadi belajar dirumahku kan?”
“Jadilah kak! Janji kan harus ditepati”
“Terkadang manusia selalu lupa dengan yang diucapkannya. Aku selalu mengerti itu!”
“Iya kak!”
“Tapi aku orang yang mudah memaafkan” Nana hanya membalasnya dengan senyuman. Hanya Syifa’ teman satu-satu Nana yang lebih mengerti akan dirinya, namun Nana tidak pernah menyadari akan hal itu. Ia berpikir didunia ini tidak ada teman sejati, yang ada adalah saling memanfaatkan satu dengan yang lainnya.
Krrrriiiiiinnngggg…………………………….!!!!!! Suara bel berbunyi. Terlihat semua murid sudah masuk kekelasnya masing-masing. Dikelas Nana duduk sebangku dengan Rika, anak yang cerewet namun begitu ramah dan baik dengan Nana.
“Assalamu’alaikum tuan putri” goda Rika terhadap Nana, dengan senyum lebarnya yang tidak lepas menghiasi wajahnya. Itu membuat matanya yang sipit semakin hilang.
“Wa’alaikum salam” jawab Nana dengan masih fokus dengan novel yang ia baca. Nana selalu membaca novel sambil menunggu guru masuk, itu membuatnya lebih fres sebelum berhadapan dengan pelajaran yang akan diberikan oleh gurunya, itu adalah salah satu hobinya.
“Serius amat membacanya!” goda Rika, Nana tidak memperdulikan teman sebangkunya itu. Tiba-tiba seorang guru laki-laki masuk.
“Assalamu’alaikum Wr.Wb” ucap sang guru sambil duduk dibangku guru
“Wa’alaikum salam  Wr.Wb” jawab murid-murid serempak
“Anak-anak sekarang bapak ingin memperkenalkan salah satu murid baru disini.” Semua murid penasaran dengan murid baru tersebut.
“Eh, Na! ada murid baru nih!” ucap Rika. Nana masih fokus dengan novelnya.
“Baik, langsung saja, silakan masuk!” pinta guru pada seorang murid yang masih diluar.
Seorang murid laki-laki masuk dengan senyum ramahnya. Dan berdiri disamping pak guru dan memperkenalkan diri.
“Assalamu’alaikum Wr.Wb saya murid baru disini, perkenalkan nama saya Amar ahsanurrijal, nama panggilan saya Amar. Mungkin hanya itu perkenalan singkat dari saya, mohon bantuannya” Jelas Amar
Murid-murid hanya biasa mengucapkan “Ooohhh!” untuk Amar.
“Baiklah Amar silakan duduk!” perintah guru. Amar berjalan mencari bangku yang kosong, dan ia duduk disebelah bangku Nana.
“Hai, aku Amar!” kata Amar sambil melihat kearah Nana. Nana akhirnya menutup novelnya “Aku sudah tahu.” Jawab Nana singkat dengan senyum tipisnya, melihat perilaku Nana yang tidak menghargai Amar, Rika langsung mengambil alih pembicaraan. “Aku Rika, senang berkenalan denganmu, semoga kau betah disini.” Kata Rika dengan senyumnya yang bersahabat, Amar juga membalas senyumnya.
“Wah, ternyata kau suka membaca novel ya?” Tanya Amar
“Iya, kenapa?” balik tanya Nana
“Tidak ada apa-apa,” jawab Amar “pelajaran akan segera dimulai seharusnya kau memasukkanya ditasmu”
“Tidak perlu! Ini tidak terlalu menggangguku”
Amar begitu penasaran dengan novel yang Nana baca, ia pun meraih novel tersebut, saking terkejutnya, Amar berkata begitu keras “Wah, ini kan keluaran baru novel karya Ilana Tan, dari mana kau mendapatkan ini?” Nana sangat kaget dengan perilaku Amar yang tiba-tiba, segera ia meraih novelnya dari tangan Amar. Namun, semua terlambat pak guru sudah mendengarkan ucapan Amar dan merasa tidak dihargai kehadirannya oleh Nana, ia mengira Nana membaca novel disaat pelajarannya berlangsung.
“Nana apa yang kamu lakukan?” bentak pak guru “membaca buku yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran saya, dan membuat gaduh kelas!”
“Tidak pak!” ucap Nana membela diri, namun segera terpotong dengan pak guru “Pokoknya saya akan mengambil buku ini, jika terjadi kejadian seperti ini lagi, sebaiknya kamu jangan ikut pelajaran saya!” jelas pak guru sambil merampas novel Nana.
Bel berbunyi tanda pulang sekolah. Amar terus meminta maaf kepada Nana sepanjang pelajaran dan istirahat, sampai pulang sekolahpun ia masih memohon maaf dan berjanji akan mengambil novelnya. “Aku mohon maafkan aku! Aku berjanji akan menjelaskan yang sebenarnya pada guru tadi, dan….” Sebelum selesai berbicara Nana memotongnya “Sudahlah!” bentak Nana yang sudah merasa risih “Aku memaafkanmu, dan kau tidak perlu menjelaskannya! Sekarang jangan ikuti aku!” Amar merasa terlalu adil untuknya “Tidak ini semua salahku! Aku akan mengambil novel itu, aku janji!” “Terserah apa katamu!” ucap Nana dan pergi meninggalkan Amar, ia begitu jengkel dengan Amar.
Keesokan harinya, Amar berusaha menemui guru kemarin namun, ia tidak tahu siapa nama guru yang mengambil novel Nana, akhirnya ia bertanya kepada teman sebangkunya dan segera menemui guru kemarin. “Asslamu’alaikum Pak Arif” ucap Amar yang sudah berdiri disamping meja guru Fisika tersebut “Wa’alaikum salam ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Arif. “Ehm, bigini pak! Sebelumnya saya minta maaf mengganggu bapak, tapi sebenarnya tujuan saya kemari ingin mengambil buku milik Nana yang bapak ambil kemarin.” Jelas Amar dengan begitu santun, “Mengapa kamu yang mengambilnya?” tanya Pak Arif “Seharusnya Nana sendiri yang mengambil.”
“Kejadian kemarin itu salah saya, Nana tidak membaca buku itu, dia baru akan memasukanya kedalam tas namun, karena saya yang begitu penasaran dengan buku tersebut, saya mengambilnya” jelas Amar
“Benarkah?” tanya Pak Arif “Kalau begitu kejadiannya, saya akan mengembalikan bukunya.”
“Terima kasih pak!”
“Tapi, dengan syarat kamu tidak boleh ngobrol saat pelajaran berlangsung, bukan hanya saat pelajaran saya tapi, semua pelajaran yang kamu ikuti. Ini peringatan!”
“Sekali lagi terima kasih pak! Saya tidak akan mengulanginya lagi!”
Amar membawa novel Nana dengan perasaan lega, ia benar-benar senang hari ini!
Di kelas………….
          “Na, aku dengar Amar minta ma’af kepadamu terus ya?” tanya Rika
“Why?” balik tanya Nana dengan logat Inggrisnya yang khas
“Kan kasihan Amar, seharusnya kau memaafkannya!”
“Aku sudah memaafkannya.”
“Benarkah?” tanya Rika yang begitu penasaran sambil memandangi Nana yang hanya dengan ekspresi polosnya.
“Ada apa lagi?” tanya Nana yang merasa diperhatikan
“Kalau begitu aku pinjam buku Sejarahmu!” ucap Rika dengan wajah manjanya.
“Dasar kau! Kenapa tidak langsung saja kalau mau pinjam!” oceh Nana “Memangnya kemarin kamu tidak menulis materinya?”
“Aku sangat ngantuk, kau tau sendirikan jika guru itu kalau lagi dongeng semua murid pasti pada ngantuk!” jelas Rika sambil menyindir guru sejarahnya.
“Itu lah orang yang jarang membasuh tubuhnya dengan air wudhu, jadinya ngantuk, malas, dan lambat!” Oceh Nana kembali, Rika hanya tersenyum malu dan meraih buku milik Nana.
Akhirnya jam ke-8 dimulai, segera Bu Ida selaku guru Biologi menjelaskan materi tentang metode Ilmiah.
 “Sesuai materi ini, ibu akan mempasangkan kalian untuk tugas kelompok.” Jelas Bu Ida sebelum mengakhiri KBM. “Tapi, bukan sebangku, akan ibu acak dan kalian yang pilih sendiri.” Jelas Bu Ida membuat semua murid mengeluh termasuk Rika yang tadinya senang bisa satu kelompok dengan Nana akhirnya hilang kesempatan itu. Setiap anak maju satu persatu dan mengambil kertas yang sudah digulung berisi nama pasangan kelompok mereka masing-masing “Yah…..! kenapa aku bisa mengambil nama Vita!” keluh Rika yang sangat begitu tidak suka dengan pasangannya “Aku juga tidak menyangka bisa satu kelompok dengan perempuan centil sepertimu!” bantah Vita yang mendengar ucapan Rika, tanpa disuruhpun mereka berdua sudah saling adu mulut mengandalkan kecerewetannya masing-masing. ‘’Bagaimana ini? Rika sudah dengan Vita, lalu aku dengan siapa?’’ batin Nana yang sudah bersiap memilih salah satu gulungan yang ada didepannya. “Ayo Nana!” suruh Bu Ida, dengan langkah berat Nana mengambil salah satu gulungan “Bissmillahirrohmanirrohim……..” ucap Nana sambil membuka gulungan itu perlahan.
“Silakan baca, siapa namanya?” pinta Bu Ida lagi.

Krrrriiiiiinnngggggg……………………….. (bel pulang sekolah)

          “Wah, aku tidak menyangka bisa satu kelompok denganmu!” kata anak laki-laki yang sudah berjalan keluar gerbang bersama Nana. ‘’Mimpi apa kau semalam bisa satu kelompok dengan anak ini’’ batin Nana. “Bagaimana kalau belajarnya dirumahku saja?” tawar Amar. “Kenapa harus dirumahmu? Aku yang memilihmu, seharusnya kau menuruti keinginanku!” jawab Nana.
“Aku orang baru pindah. Tidak begitu hafal dengan jalanan disini.”
“Itu masalahmu!”
“Ayo lah! Aku kasih alamatku!” segera Amar menulis alamtnya dan memberikan kepada Nana “Aku tunggu dirumah! Assalamu’alaikum.” Ucap Amar yang langsung pergi, “Eh, tung….! Wa’alaikumsalam”  Nana kembali berjalan sendirian, ternyata Syifa’ sudah memperhatikannya sejak tadi. “Hai!” sapa Syifa’ sambil berjalan disamping Nana “Hai!” jawab Nana dengan senyumnya “Siapa anak tadi?” tanya Syifa’
“Dia anak baru disini.”
“Benarkah? Kelihatannya kalian begitu akrab.”
“Aahh! Tidak juga” Syifa’ hanya mengangguk, mereka kembali berjalan pulang.

Sore yang cerah itu, Nana bingung mencari rumah Amar yang berada diperumahan yang elite, hingga akhirnya ia bertanya satpam yang sedang bertugas disana. Sekarang Nana sudah berada didepan rumah yang cukup besar, terlihat dihalaman rumah itu banyak tanaman bunga yang menghiasi rumah, beberapa diantaranya tanaman bongsai dan rumput hias, dan membuat rumah itu begitu sejuk dengan beberapa pohon mangga yang tidak terlalu besar namun lebat.
“Assalamu’alaikum” ucap Nana sambil mengetuk pintu rumah
“Wa’alaikum salam” jawab seorang wanita setengah baya sambil membuka pintu, wanita itu begitu ramah, terlihat dengan senyumnya yang hangat. “Adek temannya Amar ya?” tanya wanita itu, Nana berpikir wanita itu pasti ibu Amar, ia menjawabnya dengan begitu ramah pula “Iya tante, kami akan belajar kelompok.”
“Jangan panggil tante, saya kan tidak terlalu tua, panggil saja ibu.”
“Iya bu!”
“Oh ya, ayo masuk. Amar sudah menunggu!” ajak Ibu Amar, Nana mengikutinya hingga ruang tamu, segera Ibu Amar memanggil Amar dan beberapa saat Amar keluar dan tersenyum melihat Nana yang sudah duduk manis diruang tamu, ibunya membiarkan mereka berdua.
“Wah, ternyata kau sudah datang, apa kau tidak bingung mencari rumahku?”
“Allah selalu memberi jalan yang terang bagi hambaNya yang selalu ta’at” Amar hanya tersenyum puas mendengar jawaban Nana “Na, sebelum belajar kita makan dulu ya!” ajak Amar “Ah, tidak perlu aku sudah makan dari rumah.” Jawab Nana
“Ayolah! Ibuku sudah memasakkan untukmu, apa kau mau menolaknya?”
“Benarkah? Kenapa begitu repot-repot?” tanya Nana “pasti kau yang menyuruhnya!”
“Tidak!” jawab Amar “Ibuku selalu begitu kalau ada temanku kerumah, dia akan melayani tamunya bagaikan raja. Bukankah ada pepatah seperti itu kan?” Nana tidak mungkin menolak ajakan Amar, bukan karena Amar, tapi karena ia merasa tidak enak dengan ibu Amar yang sudah repot-repot memasakkan makanan untuknya.
“Nana makan yang banyak ya!” pinta ibu Amar yang tak lepas dengan senyumnya yang begitu hangat, Nana hanya mengangguk sambil tersenyum, mereka mengobrol tentang kehidupan masing-masing, itu membuat Nana merasa nyaman, sudah lama sekali ia tidak pernah berkumpul bersama keluargnya sambil bercanda.
“Pasti menyenangkan bisa berkumpul bersama keluarga” kata Ibu Amar
“Tidak juga” jawab Nana “terkadang kita harus saling membagi sesuatu, entah barang ataupun makanan, itu juga tidak lepas dengan rasa iri jika salah satu anggota keluarga tidak mendapatkan bagian, dan pastinya bisa menimbulkan pertengkaran.”
“Oh ya? Kami tidak tahu itu, karena kami jarang berkumpul bersama.” Sahut Amar
“Ayah Amar bekerja diluar kota hanya sebulan sekali ia pulang, itupun juga belum tentu ia bisa pulang, sedangkan kakak Amar yang sudah berkeluarga memilih hidup bersama keluarga barunya, jadi dirumah yang luas ini hanya ada aku dan Amar, dan itu juga sangat sepi.” Tambah Ibu Amar
“Aku baru tahu itu.” Kata Nana dengan tersenyum
“Kita tidak akan tahu apa yang terjadi dibalik apa yang kita inginkan, tidak semua keinginan kita selalu baik seperti yang kita bayangkan, pasti ada kekuranganya.” Jelas Ibu Amar. Nana baru menyadari begitu berartinya dapat berkumpul bersama keluarga juga menyenangkan, bisa tertawa bersama, bercanda, dan jika sedih pasti keluarga yang menghiburnya, seharusnya ia lebih banyak bersyukur bisa berkumpul bersama keluarga tidak selalu melihat sisi negatifnya saja ia juga harus melihat sisi positifnya, daripada memiliki rumah yang begitu besar tapi tidak ada penghuninya.
Setelah mereka mengerjakan tugas kelompoknya Nana pamit pulang karena hari sudah hamper petang.
Kegiatanya dimalam hari adalah mengajar murid-muridnya mengaji setelah magrib, setelah itu ia baru belajar, terkadang ia belajar dengan Syifa’ jika ada materi yang belum ia mengerti atau hanya pinjam tempat untuk belajar, karena dirumahnya begitu ramai dengan penghuni sebanyak itu sedangkan dirumah Syifa’, hanya ada dia dan orang tuanya, Syifa’ adalah anak tunggal yang sangat patuh, orang tuanya tidak keberatan Nana belajar dirumahnya, bahkan sangat senang melihat Nana dan Syifa’ belajar bersama walaupun tingkatan mereka berbeda. Sejak dulu Nana menganggap Syifa’ sebagai temannya, namun Syifa’ menganggap Nana lebih dari sekedar teman. Ia merasa hatinya hanya ada Nana, ia merasa hanya Nana perempuan yang ia kenal, dan hanya Nana yang dapat membuatnya tersenyum. Namun, ia tidak berani menyatakan perasaannya itu, karena Nana hanya menganggapnya sebagai teman, ia tidak mungkin menghancurkan pertemanannya, melihat Nana yang selalu disampingnya itu sudah cukup.
Sudah seminggu sejak tugas biologi itu diberikan, hari ini adalah waktunya presentasi, Nana dan Amar melakukan presentasi dengan hasil pengamatannya tentang bunga Adenium itu dengan bagus, bunga itu yang dipilih Amar karena selain mudah ditemukan Amar juga ingin memberikan pengetahuan yang lebih tentang bunga yang hampir semua orang memilikinya. Nana dan Amar menadapatkan nilai tertinggi atas presentasinya.
Sejak saat itu Amar sering mengajak Nana untuk belajar bersama, mereka semakin dekat, apalagi Nana sudah melupakan kejadian pertama kali bertemu dengan Amar, sangat menjengkelkan menurutnya, namun sekarang ia baru menyadari bahwa Amar adalah anak yang menyenangkan walaupun setiap belajar mereka selalu berdebat, itu membuat Nana semakin tahu pengetahuan lain.
“Na, nanti kamu kerumahku ya!” ajak Amar
“Kenapa aku harus kerumahmu? Kau bahkan tidak pernah kerumahku!” bantah Nana, Amar hanya tersenyum. Walaupun demikian Nana tetap datang kerumah Amar, hari ini Amar banyak bertanya tentang pelajaran Bahasa Inggris, itu adalah pelajaran yang paling tidak disukai Amar, namun sangat disukai Nana.
“kenapa kau begitu suka dengan pelajaran ini?” tanya Amar sambil menutup bukunya, mengakhiri belajarnya.
“karena aku ingin tinggal diluar negeri.” Jawab Nana membuat Amar tertawa mendengarnya. “ya. Kau boleh menertawainya, namun itulah kenyataannya. Aku ingin hidup bebas, jauh dari rumah, jauh dari keluarga. Aku ingin hidup mandiri, aku ingin mengenal sisi lain dunia ini, aku ingin lari dari penyesalan.” Jelas Nana yang terbawa dengan masa lalunya. “mengapa begitu?” tanya Amar kembali “orang bilang aku berbeda, semua hilang dariku, aku tidak menemukan senyumanku seperti dulu, aku tidak menemukan cinta orang tuaku. Maaf membuatmu tahu semua ini.” Jelas Nana kembali, “haruskah kau pergi untuk mendapatkan kebahagiaanmu? Haruskah kau pergi meninggalkan keluargamu? Haruskah kau pergi untuk mendapatkan cintamu? Tidak cukupkah aku mencintaimu?” ucapan Amar membuat Nana terkejut. Ia tidak menyangka Amar mengatakan itu, ia hanya terdiam sambil menunduk membiarkan Amar yang terus menatapnya.
“aku….aku hanya ingin menunjukan bahwa aku juga bisa membahagiakan orang tuaku.” Kata Nana masih tidak ingin membalas tatapan Amar, ia masih tidak ingin mengerti maksud perkataan Amar. “apa kau tidak menyadari saat ini aku menyatakan perasaanku?” tanya Amar yakin “lihat aku!” pinta Amar, Nana memberanikan menatap Amar, Amar tersenyum manis, membuat jantung Nana berdebar-debar memacu aliran darahnya. “Kau pasti terkejut! Sejak aku bertemu denganmu perasaanku sangat aneh, aku tidak pernah merasakan hal seperti ini, semua pertanyaan ada dipikiranku, tapi tak satupun terjawabkan. Hanya satu, hatiku berkata ini adalah cinta.” Jelas Amar “Tapi kau tidak boleh mencintaiku!” tambahnya, Nana tidak mengerti kata terakhirnya “Kenapa aku tidak boleh mencintaimu?” tanya Nana tidak sabar.
“Bukan aku orang yang akan mencintaimu selalu.” Nana masih menunggu sepertinya Amar ingin berbicara lagi. “Aku hanya ingin menyatakan perasaanku, aku tidak ingin mendengar jawaban darimu, aku tidak mengaharapkan lebih darimu.” Nana semakin tidak mengerti. Hening, tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut mereka. Kenapa ada anak yang seperti dia, menyatakan cintanya, namun tidak ingin orang yang dicintainya menjawabnya? Mengapa aku tidak boleh mencintainya? Pertanyaan demi pertanyaan mengusik pikiran Nana.
“Kau tidak perlu memikirkan perkataanku!” ucap Amar sambil tersenyum melihat Nana dengan ekspresi bingungnya. “Baiklah aku akan menjawabnya. Allah yang lebih mencintaiku.” Nana kembali berpikir kemudian tersenyum puas mendengar jawaban Amar, walaupun ia ingin jawaban yang lain atas itu.
Keesokan harinya, Nana berangkat sekolah dengan senyuman menghiasi wajahnya, Syifa’ yang melihatnya ikut tersenyum, sejak Nana selalu bersama Amar, Syifa’ sering melihat Nana tersenyum dan tertawa lepas. Walaupun ada perasaan cemburu dihatinya, Syifa’ tetap senang melihat Nana yang seperti dulu, ceria dan selalu tersenyum, bahkan sekarang Nana tersenyum manis dihadapan Amar.
Senyuman itu tidak lama, Nana kembali merenung karena hari ini Amar tidak masuk. Tidak ada alas an yang pasti, hanya selembar surat yang menyatakan ia sakit. Padahal baru kemarin sore Nana bertemu dengan Amar, mengapa hari ini ia tidak masuk?.
Hingga satu minggu lebih Nana tidak melihat Amar, ia juga tidak kerumahnya, perasaannya sangat cemas, ia takut Amar sakit parah.
“Mengapa tidak kau jenguk saja dia?” tanya Syifa’ saat pulang sekolah bersama Nana
“Aku rasa aku tidak berhak menjenguknya. Aku bukan siapa-sipanya kan?”
“Aku tahu. Tapi kau yang dekat dengannya, apa salahnya kau menjenguknya? Kau kan hanya ingin tahu keadaanya sekarang.” Kata Syifa’ walaupun sangat berat mengatakan itu, namun Syifa’ tidak ingin melihat Nana sedih. “Kakak temani aku menjenguknya ya!” pinta Nana “Amar pasti senang aku mengajak kakak, dia pasti terhibur banyak teman menjenguknya.” Syifa’ mengangguk sambil tersenyum, mereka akhirnya pergi ke rumah Amar, namun dirumahnya ternyata tidak ada orang, pembantunya mengatakan mereka ke rumah sakit. Nana benar-benar cemas, khawatir, takut menjadi satu mengusik pikirannya. Beberapa kali Syifa’ menenangkan Nana, sebelum tahu pasti apa yang terjadi.
Sesampainya dirumah sakit Nana langsung mencari ruangan Amar yang telah diberitahu pembantu Amar. Disana ia melihat orang tua Amar berada diluar kamar VIP, untuk pertama kalinya Nana bertemu dengan Ayah Amar.
“Nana, darimana kau tahu kami disini?” tanya Ibu Amar. Nana masih bingung ia tidak menjawab pertanyaan Ibu Amar “Apa yang terjadi bu?” tanya Nana dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Orang tua Amar tidak menjawabnya, mereka hanya mengajak Nana dan Syifa’ masuk ke kamar tersebut. Nana terkejut begitu juga dengan Syifa’ yang melihat Amar terbaring diatas tempat tidur rumah sakit dengan beberapa alat menempel ditubuhnya, Nana mendekatinya, air matanya semakin keluar tanpa permisi. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nana “Amar menderita penyakit Leukimia Myeloid  sejak kecil. Beberapa kali kami menyuruhnya untuk operasi anti kanker, tapi ia selalu menolaknya dengan alasan. Karena Allah lebih mencintainya. Kami tidak mengerti maksudnya, tapi kami juga tidak ingin memaksanya.” Jelas Ayah Amar, Ibu Amar menangis melihat Amar. Air mata Nana terus mengalir, ia benar-benar tidak tahu kalau selama ini Amar sakit parah. “Bukankah Leukimia Myeloid bisa disembuhkan dengan donor sumsum tulang dari keluarganya?” tanya Syifa’
“Kau benar nak! Tapi ini semua sudah terlambat, kankernya sudah menyebar. Ia tidak bisa terselamatkan lagi, hanya Allah yang bisa mengijinkannya hidup.” Jelas Ayah Amar, Nana terduduk dikursi samping Amar sambil terus menangis. Orang tua Amar membiarkan mereka berdua menemani Amar.
“Kau jahat! Kenapa kau tidak memberitahuku?” tanya Nana sambil terus memandangi Amar. Syifa’ yang melihatnya hanya terdiam. “Kau sudah berjanji mengajakku melihat awal musim panas, kau bilang awal musim panas itu sangat indah. Ini hampir akan datang musim panas. Kau harus bangun! Kau tidak inginkan melewatkan musim panas ini kan? Beritahu aku seperti apa musim panasmu? Ceritakan lagi liburan musim panasmu!” kata Nana sambil terus menangis menyalahkan dirinya sendiri. “Nana, sudahlah!” yakin Syifa’ berusaha menghentikan tangisan Nana, ia tahu kesedihan Nana sangatlah luar biasa, ia pernah melihatnya dan tidak ingin untuk kedua kalinya ia melihat Nana menangis, itu membuat hatinya sakit.

Hari demi hari telah berlalu, minggu demi minggu telah berlalu. Musim panas sudah menunjukkan wajahnnya, namun Amar tak kunjung bangun, membuka matanya saja tidak. Bahkan kondisinya semakin parah. Orang tua Amar melarang Nana menjenguk Amar, mereka tidak ingin Nana sedih saat waktunya tiba.
Kali ini, untuk terakhir kalinya orang tua Amar mengijinkan Nana menjenguk Amar. “Assalamu’alaikum Amar.” Sapa Nana yang sudah berdiri disamping Amar, “Lihat aku kesini bersama kak Syifa’. Bagaimana keadaanmu?” tanya Nana, tentu saja Amar diam ia belum sadar dari tidurnya, bahkan mungkin akan selamanya ia tidur. Nana duduk disamping tempat tidur Amar sembari meraih tangan Amar dan memegangnya dengan lembut.
“Amar, musim panas sudah tiba, aku sudah melihat banyak pepohonan menunjukkan daun barunya, banyak burung-burung bangun dari sarangnya karena musim dingin sudah berlalu. Kau juga harus bangun.” Kata Nana, ia masih menahan air matanya agar tidak jatuh. “Minggu depan ada seleksi untuk perlombaan story telling, aku mengikutinya agar bisa mewakili sekolah kita.” Lanjut Nana “Nanti jika aku lolos, kau harus melihatnya. Kau harus menepati janjimu. Kak Syifa’ pernah bilang kalau manusia itu mudah lupa, ia selalu mengerti. Tapi, aku bukanlah orang yang mudah memaafkan seperti kak Syifa’, jadi kau harus bangun.” Tambahnya, kini air matanya sudah membasahi pipinya. Syifa’ meraih tangan Nana berdiri.
“Na, dia pasti bangun, kau tidak boleh egois.” Kata Syifa’. Nana mengangguk, ia tidak melanjutkannya lagi, ia hanya ingin saat ia lolos seleksi nanti Amar melihatnya.

Satu minggu kemudian. Beberapa teman Nana mengucapkan selamat untuk kelolosannya untuk mewakili sekolah dalam lomba tersebut, namun Nana tidak melihat Kak Syifa’, hingga akhirnya ia melihat Kak Syifa’ berdiri didepan gerbang sekolah dengan senyuman desela tangisan sambil membawa novelnya yang saat pertama kali bertemu Amar dan secarik surat, Nana mendekatinya. Kenapa Kak Syifa’ membawa novel itu? Darimana ia mendapatkannya? Bukankah novel itu sudah dirampas oleh Pak Arif, apakah Amar waktu itu mengambilnya? Perasaan Nana semakin tidak karuan.
“Kak, aku lolos!” ucap Nana sembari memberikan senyumannya, Syifa’ juga tersenyum, namun jelas sekali Syifa’ bersedih hari ini. “Kenapa kakak menangis?” tanya Nana, ia semakin curiga “Apa yang sebenarnya terjadi? Jangan bilang ini ada kaitannya dengan Amar!” tambah Nana, air matanya kini sudah ingin keluar, dia tidak sanggup lagi menahannya, ia menutup telinganya dengan kedua tangannya, “Aku tidak ingin mendengarnya, aku tidak ingin mendengarnya!” Kata Nana setengah teriak sambil menangis. Syifa’ meraih kedua tangan Nana dan meyakinkannya “Nana, aku tahu kau tidak bisa menerima semua ini. Tapi kau harus bisa menerimanya!” kata Syifa’ “Dia mencampakkanku!” ucap Nana “Tidak… dia tidak mencampakkanmu. Allah lebih mencintai dia daripada cintamu terhadapnya. Kau harus merelakannya!” yakin Syifa’ lagi. Syifa’ tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan, sudah terlalu sering ia melihat Nana menangis dan hanya sebentar melihatnya tertawa, kenapa sekarang ia kembali menangis? Kenapa musim panas yang indah ini ada hujan?.
Amar sudah tidak tahan lagi melihat Nana menangis, perlahan ia merebahkan kepala Nana didadanya, membiarkan Nana membasahi bajunya dengan tangisnya, lebih baik daripada terus melihat tangisan Nana. Syifa’ berharap ada pelangi setelah hujan dimusim panas ini, pelangi yang tidak akan hilang terbias cahaya, pelangi yang akan terus berada disela-sela wajah Nana.
Pertemuan singkat Nana dengan Amar. Membawa perubahan yang besar di hidup Nana, ia semakin sabar menghadapi hidup, lebih mendekatkan diri kepada Allah, belajar mencintai Allah, dan mencintai keluarga dan teman-temannya. Ada senyum diwajah Nana seperti harapan Syifa’. Kini Nana tidak lagi selalu bersedih, ia akan selalu tersenyum desela-sela harinya.


~ The End ~


Senin, 26 Januari 2015

The Name I Loved

            


The name I loved


 Tuban, 11 Mei 2012             


Hari-hariku selalu sendiri….aku habiskan hari-hari ini dengan penuh khayalan,aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan…..tidak ada lagi teman, bermain, bahkan belajar bersama. Orang-orang yang aku cintai, mereka pergi satu persatu.
            Jika aku mengingat masa kecilku, aku akan mengatakan “aku adalah anak yang paling bahagia didunia ini” aku tidak mengenal sedih, bahkan aku jarang sekali menangis, walaupun ibu selalu memarahiku, tapi aku selalu tersenyum jika mengingat masa-masa itu.
            Sangat bertolak belakang dengan sekarang. Jika aku mengingat masa kemarin ataupun hari ini, aku bisa menangis bahkan lebih parah dari itu…..
            Aku tidak ingin lagi bersedih, menyesal itu adalah hal yang paling aku benci! Apa aku harus bisa menyesuaikannya? Aku tidak bisa!
            Cukup 3 orang yang aku cintai Engkau ambil, aku tidak ingin kehilangan mereka…. Mereka tidak bisa digantikan oleh orang lain. Mereka adalah hidupku, tempat aku menuangkan cerita, tempat dimana aku bisa tertawa, tempat dimana aku diberi kasih sayang….
            Pertama Engkau mengambil nenekku…orang yang sangat menyayangiku, memperdulikanku, tempat dimana aku menyandarkan diriku. Lambat laun aku bisa mengikhlaskannya. Aku ikhlas…..
            Tapi kenapa Engkau mengambil orang yang paling dekat denganku? Aku tidak bisa tertawa lagi…tawaku yang begitu penuh arti kasih sayang sudah lama tak bisa aku rasakan….bahkan sampai sekarangpun aku tidak bisa melupakannya. Aku masih ingat semua tentang dia, aku menyayanginya ya Allah…….. kenapa Engkau mengambilnya? Tidak ada lagi tawanya, candanya, cerita-cerita yang saling kami tuangkan. Tidak ada… aku selalu merasa dia masih hidup, tapi aku tidak tahu dimana? Aku selalu merasa dia bermain denganku, menemaniku tidur, ikut tertawa saat aku tertawa. …dimana dia ya Allah???
            Andai aku bisa memutar waktu… agar aku bisa menghentikannya  saat pergi, atau hanya sekedar memberi pelukan hangat untuk terakhir kalinya. Namun aku tidak tahu kalau itu adalah sebuah pamitan untukku, aku bodoh sekali, aku masih bisanya tersenyum kepadanya, seharusnya aku menghentikannya!, aku ingin bertemu dengannya lagi! Aku mohon ya Allah…………..
            Orang yang selalu menasehatiku, memberi ilmunya kepadaku, menyayangiku seperti anakknya, orang paling sabar yang pernah aku kenal, orang yang paling mulia dalam hidupku, orang yang selalu memotivasiku, orang yang selalu menyuruhku berfikir positif. Engkau ambil……… apa salahku? Dosa apa yang pernah aku lakukan? Aku menyanginya……. Sekarang tidak ada lagi orang yang bisa memberiku semangat dalam hidup, tidak ada yang bisa menasehatiku sesabar dia. Ini adalah penyesalan terbesarku, aku tidak bisa melihatnya menghembuskan nafas terakhirnya, bahkan hanya sekedar melihatnya untuk terakhir kalinya.
Mengapa Engkau memberikan penyakit seganas itu menggerogoti hatinya yang paling lembut???
            Mengapa bukan aku saja? Hatiku tidak sebaik dia? Apa tidak bisa menggantikannya? Dia terlalu baik untuk pergi……masih banyak yang ingin aku lakukan bersamanya…
           
            Ya Allah, apa Engkau membenciku? Aku ingin bersama mereka, aku mohon ya Allah……….! Aku tidak ingin ada lagi yang pergi, aku tidak ingin sahabat sebatang karaku pergi, aku tidak ingin orang tuaku pergi, aku tidak ingin kakekku semata wayang pergi, aku tidak ingin kakak-kakaku yang aku sayangi pergi, aku tidak ingin semua orang yang paling aku sayang pergi. Cukup 3 ya Allah……… jangan mereka lagi, aku sudah tidak tahan dengan penderitaan ini. Jika Engkau ingin mengambil mereka, ambillah saja aku! Mereka terlalu baik untuk pergi. Aku menyayangi mereka melebihi diriku sendiri.
           
Kata-kata apalagi yang bisa aku utarakan ya Allah??? Aku tidak ingin membuat penyesalan lagi, aku ingin melihat orang tuaku tersenyum melihatku, memelukku dengan penuh kasih sayang, aku tidak ingin mengecewakan mereka. Aku ingin membahagiakan mereka, aku ingin mereka bangga atas keberhasilanku.
            Mudahkanlah hambamu kali ini ya Allah…. Karena ini adalah cerminku menuju masa depan… aku akan berusaha setelah ini, aku tidak ingin membanggakan diri, aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu.

Saat aku melihat orang yang sukses, kata-kata yang ada dalam fikiranku adalah “aku ingin menjadi dia, aku ingin lebih dari dia” tapi mengapa begitu berat “semua perjuangan itu butuh pengorbanan” kata-kata itu yang selalu membuat pertanyaan besar dalam fikiranku, apa aku sudah melakukan pengorbanan itu? Ataukah pengorbanan itu kurang?


Apapun itu aku ingin merubahnya mulai sekarang, aku ingin membahagiakan mereka, aku ingin melihat mereka tersenyum kepadaku, walaupun sebagian aku tidak bisa melihatnya, tapi aku yakin mereka tersenyum kearahku……….. aku pasti bisa!!!! Itu pasti!!! 

Jumat, 23 Januari 2015

Remember

             

Oleh: Cholifatur Rohmah

“Sahabat itu seperti kedua mata kita berkedip, melihat dan memejam sama-sama”
                Apakah kalian percaya dengan kata-kata itu? Aku percaya! Namun tidak pada akhirnya. Jika memang benar, seharusnya dia berada disini! Duduk disampingku dan menikmati indahnya senja hari.
Duduk di tepi pantai dengan senyuman yang selalu mengembang dan saling menggenggam tangan. Warna jingga yang menerpa tubuh kami membuat bayangan yang begitu indah, kami tetap diam tak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya itu seakan ingin segera pulang bertemu dengan keluargadan melepas penat karena seharian bekerja. Kami tak peduli, dan tetap duduk bersantai di tepi pantai ini. Andai waktu dapat berhenti, aku ingin tetap seperti ini, tak akan kubiarkan orang-orang di jalan raya itu pergi, tak akan kubiarkan matahari itu terbenam atau bulan itu menggantikan tugasnya. Jika Tuhan benar-benar mengabulkannya, aku adalah orang yang sangat beruntung di dunia ini, bagiku hanya melihat matahari terbenam saja membuatku bahagia, seperti mengetahui rahasia yang tidak semua orang tahu tentang indahnya langit senja ini. Sebenarnya aku sedang berbohong. Bukan senja yang indah itu yang membuatku bahagia, namun seseorang disampingku ini. Dia terlalu tenang atau sedang memikirkan sesuatu? Aku tidak tahu. Diam-diam aku memperhatikannya, dia tetap diam dengan senyum yang terus mengembang, rambutnya yang panjang dan lurus itu ia biarkan tergerai diterpa angin laut yang beranjak dingin, dia begitu menikmati ombak yang bergulung-gulung disana dan suara bising mesin kendaraan di jalan raya itu.
Perlahan senyumannya hilang dan menjadi sebuah kesedihan, aku bingung mengapa dia sedih? Apa aku menyakitinya? Apa yang harus kulakukan? Semakin lama ia semakin sedih bahkan air mata beningnya itu sudah membanjiri pipinya, ingin rasanya kuhapus air mata itu. Tiba-tiba dia melepas genggaman kami dia berdiri dan tersenyum sambil melihatku. Aku semakin bingung dibuatnya, aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan, Tuhan tolong jangan biarkan dia pergi, aku mohon! Biarkan dia tetap disini lebih lama, aku berjanji akan melindunginya, membalas semua kebaikannya selama ini. Biarkan dia tetap disini. Perlahan-lahan dia berjalan menjauh bersamaan dengan hilangnya warna jingga di langit. Air mataku sudah jatuh beberapa kali, namun aku tetap tidak bisa menghentikannya, dia semakin menjauh, seakan dimakan oleh matahari, aku tidak kuat ya Tuhan, hentikan semua ini! Aku mohon! Aku sempat melihatnya tersenyum cerah kearahku sebelum aku menutup mataku, aku benar-benar tidak kuat dengan semua ini jadi, kuputuskan untuk menutup mata, aku ingin dia kembali setelah kubuka mataku.
Lama aku menutup mata, kemudian aku memberanikan diri untuk membuka mataku. Aku terkejut! Aku melihat diriku sendiri, sedang duduk menonton acara televisi, sendirian. Anehnya aku tidak ingat kapan itu. Yang kutahu aku sedang berada dirumah sekarang, aku lirik jam didinding, pukul 13.30 itu yang kulihat, bukankah aku tadi dipantai bersama dia, lalu mengapa tiba-tiba aku berada disini? Aku benar-benar bingung! Aku tak ingat apapun, aku mencoba mendakati diriku yang sedang menonton televisi itu, anehnya aku tidak bisa menggapainya, ada apa ini? Mengapa aku tidak bisa menyentuh diriku sendiri? Tiba-tiba seseorang datang ke rumahku. Gadis tadi, gadis yang bersamaku di pantai tadi, aku bersyukur ternyata dia tidak jadi pergi. Aku tersenyum kearahnya namun, sepertinya dia tidak melihatku melainkan melihat kearah diriku yang sedang menonton televisi itu. Hei, apa dia tidak bisa melihatku? Aku berdiri disampingnya, tapi dia tidak bisa melihatku, aku juga tidak bisa menyentuhnya. Aku sedih, tapi seketika itu aku merasa tenang karena sekarang dia sedang berbicara dengan diriku yang lain itu, aku tersenyum ternyata kami memang benar-benar akrab, mungkin Tuhan ingin memberitahuku betapa akrabnya kami jadi kami tidak boleh berpisah, mulai dari kami kecil, tidak! bahkan mulai kami masih di dalam kandungan kami memang ditakdirkan untuk selamnya bersama, tidak akan ada satu makhlukpun yang bisa menghentikan kami atau memisahkan kami, tidak akan bisa.
Aku merasa tenang sekarang, aku mendengarkan pembicaraan mereka, sesekali aku tersenyum melihat tingkah kami, ternyata aku begitu polos sekali. Bahkan diriku itu menyuruh gadis tadi berjanji untuk melihat pentas drama terakhirku di purna siswa minggu depan, dan begitu lugunya gadis tadi, ia malah mengiyakan dan berjanji akan melihat penampilan terakhirku di purna siswa, aku tertawa melihatnya. Namun tiba-tiba rasanya seperti ada yang menghantam keras hatiku, sakit sekali aku tidak bisa menahannya, air mataku kembali keluar, jantungku seakan berhenti berdetak, seketika itu aku diam, aku ingat, ya! aku ingat! Benar-benar ingat! Kejadian ini, aku pernah mengalaminya, itu adalah kejadian 5 tahun yang lalu. Aku masih belum percaya ini adalah kejadian 5 tahun yang lalu. Kemudian aku melihat ibuku berjalan menghampiri mereka yang masih tengah berbincang-bincang, sepertinya ia habis sholat dhuhur. Aku lihat ibuku tersenyum melihat mereka, tidak melihatku, aku ingin memeluknya tapi, aku yakin pasti tidak akan bisa. Aku lihat gadis tadi menjawab pertanyaan ibuku bahwa, dia akan pergi menjenguk kakaknya di Pondok Pesantren Sunan Drajat. Disinilah aku baru benar-benar percaya bahwa ini adalah kejadian 5 tahun yang lalu, apa yang harus ku lakukan? Aku tahu apa yang akan selanjutnya terjadi, apakah aku harus menghentikannya? Aku bahkan tidak bisa menyentuh mereka, ya Tuhan, ijinkan aku menghentikan gadis itu! Aku mohon! Aku ingin mengehentikannya! Jika memang Engkau membawaku kembali ke waktu ini, maka pasti ada tujuannya, aku harus menghentikannya! Tapi mengapa ini malah semakin menyakitkan? Rasanya sakit sekali, hatiku seperti hancur! Aku tak berdaya, aku tidak bisa menghentikannya, sekarang aku membiarkan gadis itu pergi meninggalkan rumahku, meninggalkan aku, diriku,dan ibuku yang tak tahu apapun.
Bangunkan aku dari mimpi ini ya Tuhan!!! Aku mohon!!! Aku tidak sanggup melihat ini, aku benar-benar tidak sanggup! Aku menagis sekencang-kencangnya, walaupun demikian tak ada satu makhlukpun yang dapat mendengar tangisanku saat ini. Aku ingin menutup mataku lagi, namun kali ini aku ragu, apa yang akan terjadi jika aku membuka mataku lagi? Apakah aku akan bangun dari mimpi buruk in? Atau aku harus melihat kejadian 5 tahun yang lalu ini? Aku benar-benar tidak sanggup Tuhan, aku tidak ingin melihatnya lagi. Tapi, aku percuma jika harus tetap diam disini, aku harus melakukannya, ini hanya mimipi, mimpi yang pernah aku alami di kehidupan nyata, apapun yang akan aku lihat selanjutnya, aku harus tetap bertahan dan melanjutkannya.
Kembali kututup mataku berharap aku akan bangun dan bisa memeluk ibuku, menciumnya dan tertawa bersamanya lagi.
Dugaanku salah, ternyata aku tak kunjung bangun. Aku bisa melihat sekarang, diriku yang lain sedang memasang wajah kebingungan yang luar biasa sama seperti aku saat ini. Diriku itu sedang menuangkan minum untuk ibuku, sedangkan ibuku matanya sembab karena menagis berkali-kali dia menangis karena mendengar para tetangga bilang kalau ibu dari gadis tadi meninggal karena kecelakaan saat akan kembali pulang setelah menjenguk putranya di pondok pesantren. Hatiku miris, walaupun aku pernah mengalami kejadian ini, tapi jika mengingatnya aku benar-benar tidak kuat. Aku kembali menangis melihat pemandangan didepanku ini dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Kali lain sekarang aku melihat diriku duduk lemas dengan wajah yang sangat begitu pucat, aku melihatnya seperti bukan diriku sendiri yang biasa tertawa lepas, itu seperti bukan diriku atau mungkin seperti itulah aku saat kejadian ini? Aku ingat saat ini diriku berada bahwa kenyataan telah terbuka, bukan ibu gadis itu yang meninggal melainkan gadis itulah yang meninggal.
Aku sudah mengalaminya tapi mengapa aku menangis dan bersedih? Aku menangis karena aku tak tahu harus melakukan apa? Aku melihat ibuku begitu khawatir dengan diriku itu, ibu sangat tahu persahabatan kami, pasti sangat sakit rasanya melihat kenyataan bahwa kami terpisahkan oleh kematian. Aku tahu apa yang selanjutnya terjadi, tapi aku ingin Tuhan mengentikan mimpi buruk ini, karena selanjutnya aku pasti sudah tak berdaya melihatnya, namun sepertinya Tuhan tak mendengarku, aku tetap melihat kejadian selanjutnya.
Seketika itu ibuku membawaku ke dokter terdekat, pastinya aku sudah bisa menebak apa yang dokter itu katakan, karena aku sudah pernah melewati kejadian ini. Dokter mengatakan diriku itu kaget, diriku itu tidak boleh pergi kemana-mana dan harus diam dirumah, ia melarang diriku itu untuk melihat gadis tadi. Apakah aku menuruti perkataan dokter itu? Tentu saja tidak, dokter itu hanya tahu kondisi fisik diriku itu, tapi ia tak pernah tahu apa yang sebenarnya ada dalam hati diriku saat itu. Sakit, sangat sakit hingga membuat kakiku lemas dibuatnya.
Aku masih mengikuti diriku tadi, padahal aku sudah benar-benar tidak kuat jika harus diperlihatkan kejadian selanjutnya ini. Aku benar-benar marah pada Tuhan karena tak kunjung membiarkan aku bangun, tapi apa gunanya aku tetap harus melihat semua ini. Aku berharap aku bisa bertahan jika melihat kejadian selanjutnya ini, tidak seperti diriku yang sedang aku ikuti ini, ia begitu bingung tak tahu arah, berjalan sempoyongan di jalan, aku tahu diriku itu sedang menuju rumah gadis tadi, aku bisa menebak setelah ini aku akan tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu hingga membuat pertahananku runtuh seketika. Ya, aku melihat ambulannya datang, ambulan yang membawa tubuh gadis yang sudah tak bernyawa tadi, diriku yang aku ikuti itu berlari dan memeluk ibuku erat yang sudah lebih dulu berada di rumah gadis tadi. Pertahananku benar-benar runtuh, aku tak sanggup lagi melihat tubuh pucat kaku itu dibawa masuk kerumahnya.
Aku melihatnya, aku sudah melihatnya, aku benar-benar tak sanggup lagi. Bisakah kita berhenti disini? Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini, aku ingin kembali ke duniaku yang sekarang, percuma jika aku masih disini tapi tak bisa menghentikan gadis itu pergi. Dia tetap pergi, bukankah itu sudah ketetapan-Mu Tuhan? Aku tidak akan bisa membawanya kembali, itu sudah ada di catatan-Mu, tidak akan bisa aku hapus lagi.
Aku berhenti melihat tubuh gadis tadi. Aku sudah tidak sanggup aku ingin kembali. Hatiku remuk, aku rasa jantungku mulai berhenti berdetak, aku bahkan sampai lupa bagaimana caranya untuk bernapas, aku benar-benar sudah tidak sanggup, biarkan aku bangun. Aku menjerit sekuat tenaga supaya diriku tersadar kembali, namun sepertinya aku harus melakukannya berulang kali, karena aku tak kunjung pergi dari tempat ini.
Aku sempat melihat wajahnya yang tersenyum terakhir kali sebelum aku benar-benar bangun dari mimpi panjang ini. Napasku tersenggal-senggal keringat membanjiri tubuhku, aku sudah bisa bernapas kembali, aku tersenyum kemudian, saat aku menyadari aku masih di dalam kamarku. Aku mendengar diluar ibuku sudah memarahiku karena tak kunjung bangun, namun aku senang mendengar dia marah, itu membuatku merasa kembali ke 5 tahun kemudian, aku tidak akan pernah melupakan kejadian 5 tahun lalu, aku tidak akan melupakan kenangan dengan gadis itu, aku tidak akan pernah tahu apakah dia benar-benar menepati janjinya untuk melihat penampilan terakhirku di purna siswa kelas 6 MI dulu. Aku tidak tahu, tapi sekarang aku tahu bahwa walaupun dia tidak berada disini, tapi dihati dan pikiranku dia masih bersarang manis disana.
                Sempat kulihat tanggal di ponselku, aku tersenyum karena kejadian tadi benar-benar hanya mimpi, mimpi buruk namun aku bahagia mengalaminya. Itu adalah mimpi buruk favoritku. Sebenarnya, aku masih bertanya-tanya mengapa Tuhan memperlihatkanku pada kejadian yang tentu itu sudah aku alami, apa arti semua ini? Apa dia sekarang baik-baik saja di pangkuan-Mu Tuhan? Atau dia sudah punya teman lain disana? Aku harap aku bertemu dengan gadis itu. Rafa’ namamu sudah tersimpan rapi di memori otakku.