Selasa, 03 Februari 2015

Hujan di Musim Panas

Hujan di Musim Panas

Penulis : Cholifatur Rohmah
Genre : School, romantic, friendship
Tokoh utama:~ Nana
~ Amar
~ Syifa’


Di pagi yang cerah……………………….
          “Nana, kamu beli sarapan di sekolah ya! Ibu tidak sempat membuatkanmu sarapan!” jelas ibu sambil menyuapkan makanan untuk cucu satu-satunya itu. Nana hanya terdiam dan sesekali ia melirik kakaknya yang sedang sarapan dimeja makan. Ya, ibunya selalu membelikan sarapan untuk kakaknya, namun tidak pernah membelikan untuk Nana, itu karena sekolah Nana tidaklah terlalu jauh dari rumahnya, sedangkan kakaknya yang sudah kuliah disalah satu Politeknik Kesehatan Jurusan Keperawatan Negeri yang harus ia tempuh dengan sepedah motor barunya, walaupun baru mengambil jurusan DIII, namun orang tua Nana begitu membanggakan anak nomor dua itu, mungkin orang tua Nana berpikir bahwa hanya anak itu yang bisa membuat kehidupan mereka lebih baik, setelah Kakak pertamanya yang penurut hanya menjadi seorang office boy disalah satu perkantoran, dan setelah kasih sayang orang tuanya hilang pada diri Nana. Semua berubah pada diri Nana, dari yang ceria, murah senyum, dan sangat manis menjadi anak cuek, tidak pernah peduli dengan apa yang orang lakukan disekitarnya.
          “Bu, Nana berangkat! Assalamu’alaikum!” ucap Nana sembari mencium tangan Ibunya dan pergi.
          “Wa’alaikum salam” jawab ibunya singkat.
Nana berjalan keluar rumah menuju sekolahnya, dia sekarang duduk dikelas 10 Aliyah Negeri, setelah dinyatakan tidak masuk disekolah favorit. Itu yang membuatnya berubah, hanya satu yang ada dipikirannya bahwa ia harus mengubah dunia, entah bagaimana caranya, karena dunia telah mengubah hidupnya menjadi seperti ini, dikhianati teman, mendapat ejekan dari orang, dan kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya.
“Nana!” sapa seorang laki-laki dari belakang, Nana sangat mengenal suara tersebut, segera ia berhenti dan melihat kebelakang. Itu adalah Kak Syifa’, kakak kelasnya sekaligus teman belajarnya sejak kecil. Dia adalah anak yang cerdas sama seperti Nana, sejak dulu tujuan orang tuanya juga menyekolahkannya disana karena ingin mendapatkan pendidikan yang lebih.
“Seharusnya kau menjemputku! Kenapa berjalan terus?” Tanya Syifa’ yang sekarang sudah berada disamping Nana, berjalan sambil berbincang-bincang.
“Ma’af kak! Aku kira kakak sudah berangkat dulu” Jawab Nana dengan diselingi senyum tipisnya.
“Tidak apa-apa.” Kata Syifa’ “Oh ya, nanti kamu jadi belajar dirumahku kan?”
“Jadilah kak! Janji kan harus ditepati”
“Terkadang manusia selalu lupa dengan yang diucapkannya. Aku selalu mengerti itu!”
“Iya kak!”
“Tapi aku orang yang mudah memaafkan” Nana hanya membalasnya dengan senyuman. Hanya Syifa’ teman satu-satu Nana yang lebih mengerti akan dirinya, namun Nana tidak pernah menyadari akan hal itu. Ia berpikir didunia ini tidak ada teman sejati, yang ada adalah saling memanfaatkan satu dengan yang lainnya.
Krrrriiiiiinnngggg…………………………….!!!!!! Suara bel berbunyi. Terlihat semua murid sudah masuk kekelasnya masing-masing. Dikelas Nana duduk sebangku dengan Rika, anak yang cerewet namun begitu ramah dan baik dengan Nana.
“Assalamu’alaikum tuan putri” goda Rika terhadap Nana, dengan senyum lebarnya yang tidak lepas menghiasi wajahnya. Itu membuat matanya yang sipit semakin hilang.
“Wa’alaikum salam” jawab Nana dengan masih fokus dengan novel yang ia baca. Nana selalu membaca novel sambil menunggu guru masuk, itu membuatnya lebih fres sebelum berhadapan dengan pelajaran yang akan diberikan oleh gurunya, itu adalah salah satu hobinya.
“Serius amat membacanya!” goda Rika, Nana tidak memperdulikan teman sebangkunya itu. Tiba-tiba seorang guru laki-laki masuk.
“Assalamu’alaikum Wr.Wb” ucap sang guru sambil duduk dibangku guru
“Wa’alaikum salam  Wr.Wb” jawab murid-murid serempak
“Anak-anak sekarang bapak ingin memperkenalkan salah satu murid baru disini.” Semua murid penasaran dengan murid baru tersebut.
“Eh, Na! ada murid baru nih!” ucap Rika. Nana masih fokus dengan novelnya.
“Baik, langsung saja, silakan masuk!” pinta guru pada seorang murid yang masih diluar.
Seorang murid laki-laki masuk dengan senyum ramahnya. Dan berdiri disamping pak guru dan memperkenalkan diri.
“Assalamu’alaikum Wr.Wb saya murid baru disini, perkenalkan nama saya Amar ahsanurrijal, nama panggilan saya Amar. Mungkin hanya itu perkenalan singkat dari saya, mohon bantuannya” Jelas Amar
Murid-murid hanya biasa mengucapkan “Ooohhh!” untuk Amar.
“Baiklah Amar silakan duduk!” perintah guru. Amar berjalan mencari bangku yang kosong, dan ia duduk disebelah bangku Nana.
“Hai, aku Amar!” kata Amar sambil melihat kearah Nana. Nana akhirnya menutup novelnya “Aku sudah tahu.” Jawab Nana singkat dengan senyum tipisnya, melihat perilaku Nana yang tidak menghargai Amar, Rika langsung mengambil alih pembicaraan. “Aku Rika, senang berkenalan denganmu, semoga kau betah disini.” Kata Rika dengan senyumnya yang bersahabat, Amar juga membalas senyumnya.
“Wah, ternyata kau suka membaca novel ya?” Tanya Amar
“Iya, kenapa?” balik tanya Nana
“Tidak ada apa-apa,” jawab Amar “pelajaran akan segera dimulai seharusnya kau memasukkanya ditasmu”
“Tidak perlu! Ini tidak terlalu menggangguku”
Amar begitu penasaran dengan novel yang Nana baca, ia pun meraih novel tersebut, saking terkejutnya, Amar berkata begitu keras “Wah, ini kan keluaran baru novel karya Ilana Tan, dari mana kau mendapatkan ini?” Nana sangat kaget dengan perilaku Amar yang tiba-tiba, segera ia meraih novelnya dari tangan Amar. Namun, semua terlambat pak guru sudah mendengarkan ucapan Amar dan merasa tidak dihargai kehadirannya oleh Nana, ia mengira Nana membaca novel disaat pelajarannya berlangsung.
“Nana apa yang kamu lakukan?” bentak pak guru “membaca buku yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran saya, dan membuat gaduh kelas!”
“Tidak pak!” ucap Nana membela diri, namun segera terpotong dengan pak guru “Pokoknya saya akan mengambil buku ini, jika terjadi kejadian seperti ini lagi, sebaiknya kamu jangan ikut pelajaran saya!” jelas pak guru sambil merampas novel Nana.
Bel berbunyi tanda pulang sekolah. Amar terus meminta maaf kepada Nana sepanjang pelajaran dan istirahat, sampai pulang sekolahpun ia masih memohon maaf dan berjanji akan mengambil novelnya. “Aku mohon maafkan aku! Aku berjanji akan menjelaskan yang sebenarnya pada guru tadi, dan….” Sebelum selesai berbicara Nana memotongnya “Sudahlah!” bentak Nana yang sudah merasa risih “Aku memaafkanmu, dan kau tidak perlu menjelaskannya! Sekarang jangan ikuti aku!” Amar merasa terlalu adil untuknya “Tidak ini semua salahku! Aku akan mengambil novel itu, aku janji!” “Terserah apa katamu!” ucap Nana dan pergi meninggalkan Amar, ia begitu jengkel dengan Amar.
Keesokan harinya, Amar berusaha menemui guru kemarin namun, ia tidak tahu siapa nama guru yang mengambil novel Nana, akhirnya ia bertanya kepada teman sebangkunya dan segera menemui guru kemarin. “Asslamu’alaikum Pak Arif” ucap Amar yang sudah berdiri disamping meja guru Fisika tersebut “Wa’alaikum salam ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Arif. “Ehm, bigini pak! Sebelumnya saya minta maaf mengganggu bapak, tapi sebenarnya tujuan saya kemari ingin mengambil buku milik Nana yang bapak ambil kemarin.” Jelas Amar dengan begitu santun, “Mengapa kamu yang mengambilnya?” tanya Pak Arif “Seharusnya Nana sendiri yang mengambil.”
“Kejadian kemarin itu salah saya, Nana tidak membaca buku itu, dia baru akan memasukanya kedalam tas namun, karena saya yang begitu penasaran dengan buku tersebut, saya mengambilnya” jelas Amar
“Benarkah?” tanya Pak Arif “Kalau begitu kejadiannya, saya akan mengembalikan bukunya.”
“Terima kasih pak!”
“Tapi, dengan syarat kamu tidak boleh ngobrol saat pelajaran berlangsung, bukan hanya saat pelajaran saya tapi, semua pelajaran yang kamu ikuti. Ini peringatan!”
“Sekali lagi terima kasih pak! Saya tidak akan mengulanginya lagi!”
Amar membawa novel Nana dengan perasaan lega, ia benar-benar senang hari ini!
Di kelas………….
          “Na, aku dengar Amar minta ma’af kepadamu terus ya?” tanya Rika
“Why?” balik tanya Nana dengan logat Inggrisnya yang khas
“Kan kasihan Amar, seharusnya kau memaafkannya!”
“Aku sudah memaafkannya.”
“Benarkah?” tanya Rika yang begitu penasaran sambil memandangi Nana yang hanya dengan ekspresi polosnya.
“Ada apa lagi?” tanya Nana yang merasa diperhatikan
“Kalau begitu aku pinjam buku Sejarahmu!” ucap Rika dengan wajah manjanya.
“Dasar kau! Kenapa tidak langsung saja kalau mau pinjam!” oceh Nana “Memangnya kemarin kamu tidak menulis materinya?”
“Aku sangat ngantuk, kau tau sendirikan jika guru itu kalau lagi dongeng semua murid pasti pada ngantuk!” jelas Rika sambil menyindir guru sejarahnya.
“Itu lah orang yang jarang membasuh tubuhnya dengan air wudhu, jadinya ngantuk, malas, dan lambat!” Oceh Nana kembali, Rika hanya tersenyum malu dan meraih buku milik Nana.
Akhirnya jam ke-8 dimulai, segera Bu Ida selaku guru Biologi menjelaskan materi tentang metode Ilmiah.
 “Sesuai materi ini, ibu akan mempasangkan kalian untuk tugas kelompok.” Jelas Bu Ida sebelum mengakhiri KBM. “Tapi, bukan sebangku, akan ibu acak dan kalian yang pilih sendiri.” Jelas Bu Ida membuat semua murid mengeluh termasuk Rika yang tadinya senang bisa satu kelompok dengan Nana akhirnya hilang kesempatan itu. Setiap anak maju satu persatu dan mengambil kertas yang sudah digulung berisi nama pasangan kelompok mereka masing-masing “Yah…..! kenapa aku bisa mengambil nama Vita!” keluh Rika yang sangat begitu tidak suka dengan pasangannya “Aku juga tidak menyangka bisa satu kelompok dengan perempuan centil sepertimu!” bantah Vita yang mendengar ucapan Rika, tanpa disuruhpun mereka berdua sudah saling adu mulut mengandalkan kecerewetannya masing-masing. ‘’Bagaimana ini? Rika sudah dengan Vita, lalu aku dengan siapa?’’ batin Nana yang sudah bersiap memilih salah satu gulungan yang ada didepannya. “Ayo Nana!” suruh Bu Ida, dengan langkah berat Nana mengambil salah satu gulungan “Bissmillahirrohmanirrohim……..” ucap Nana sambil membuka gulungan itu perlahan.
“Silakan baca, siapa namanya?” pinta Bu Ida lagi.

Krrrriiiiiinnngggggg……………………….. (bel pulang sekolah)

          “Wah, aku tidak menyangka bisa satu kelompok denganmu!” kata anak laki-laki yang sudah berjalan keluar gerbang bersama Nana. ‘’Mimpi apa kau semalam bisa satu kelompok dengan anak ini’’ batin Nana. “Bagaimana kalau belajarnya dirumahku saja?” tawar Amar. “Kenapa harus dirumahmu? Aku yang memilihmu, seharusnya kau menuruti keinginanku!” jawab Nana.
“Aku orang baru pindah. Tidak begitu hafal dengan jalanan disini.”
“Itu masalahmu!”
“Ayo lah! Aku kasih alamatku!” segera Amar menulis alamtnya dan memberikan kepada Nana “Aku tunggu dirumah! Assalamu’alaikum.” Ucap Amar yang langsung pergi, “Eh, tung….! Wa’alaikumsalam”  Nana kembali berjalan sendirian, ternyata Syifa’ sudah memperhatikannya sejak tadi. “Hai!” sapa Syifa’ sambil berjalan disamping Nana “Hai!” jawab Nana dengan senyumnya “Siapa anak tadi?” tanya Syifa’
“Dia anak baru disini.”
“Benarkah? Kelihatannya kalian begitu akrab.”
“Aahh! Tidak juga” Syifa’ hanya mengangguk, mereka kembali berjalan pulang.

Sore yang cerah itu, Nana bingung mencari rumah Amar yang berada diperumahan yang elite, hingga akhirnya ia bertanya satpam yang sedang bertugas disana. Sekarang Nana sudah berada didepan rumah yang cukup besar, terlihat dihalaman rumah itu banyak tanaman bunga yang menghiasi rumah, beberapa diantaranya tanaman bongsai dan rumput hias, dan membuat rumah itu begitu sejuk dengan beberapa pohon mangga yang tidak terlalu besar namun lebat.
“Assalamu’alaikum” ucap Nana sambil mengetuk pintu rumah
“Wa’alaikum salam” jawab seorang wanita setengah baya sambil membuka pintu, wanita itu begitu ramah, terlihat dengan senyumnya yang hangat. “Adek temannya Amar ya?” tanya wanita itu, Nana berpikir wanita itu pasti ibu Amar, ia menjawabnya dengan begitu ramah pula “Iya tante, kami akan belajar kelompok.”
“Jangan panggil tante, saya kan tidak terlalu tua, panggil saja ibu.”
“Iya bu!”
“Oh ya, ayo masuk. Amar sudah menunggu!” ajak Ibu Amar, Nana mengikutinya hingga ruang tamu, segera Ibu Amar memanggil Amar dan beberapa saat Amar keluar dan tersenyum melihat Nana yang sudah duduk manis diruang tamu, ibunya membiarkan mereka berdua.
“Wah, ternyata kau sudah datang, apa kau tidak bingung mencari rumahku?”
“Allah selalu memberi jalan yang terang bagi hambaNya yang selalu ta’at” Amar hanya tersenyum puas mendengar jawaban Nana “Na, sebelum belajar kita makan dulu ya!” ajak Amar “Ah, tidak perlu aku sudah makan dari rumah.” Jawab Nana
“Ayolah! Ibuku sudah memasakkan untukmu, apa kau mau menolaknya?”
“Benarkah? Kenapa begitu repot-repot?” tanya Nana “pasti kau yang menyuruhnya!”
“Tidak!” jawab Amar “Ibuku selalu begitu kalau ada temanku kerumah, dia akan melayani tamunya bagaikan raja. Bukankah ada pepatah seperti itu kan?” Nana tidak mungkin menolak ajakan Amar, bukan karena Amar, tapi karena ia merasa tidak enak dengan ibu Amar yang sudah repot-repot memasakkan makanan untuknya.
“Nana makan yang banyak ya!” pinta ibu Amar yang tak lepas dengan senyumnya yang begitu hangat, Nana hanya mengangguk sambil tersenyum, mereka mengobrol tentang kehidupan masing-masing, itu membuat Nana merasa nyaman, sudah lama sekali ia tidak pernah berkumpul bersama keluargnya sambil bercanda.
“Pasti menyenangkan bisa berkumpul bersama keluarga” kata Ibu Amar
“Tidak juga” jawab Nana “terkadang kita harus saling membagi sesuatu, entah barang ataupun makanan, itu juga tidak lepas dengan rasa iri jika salah satu anggota keluarga tidak mendapatkan bagian, dan pastinya bisa menimbulkan pertengkaran.”
“Oh ya? Kami tidak tahu itu, karena kami jarang berkumpul bersama.” Sahut Amar
“Ayah Amar bekerja diluar kota hanya sebulan sekali ia pulang, itupun juga belum tentu ia bisa pulang, sedangkan kakak Amar yang sudah berkeluarga memilih hidup bersama keluarga barunya, jadi dirumah yang luas ini hanya ada aku dan Amar, dan itu juga sangat sepi.” Tambah Ibu Amar
“Aku baru tahu itu.” Kata Nana dengan tersenyum
“Kita tidak akan tahu apa yang terjadi dibalik apa yang kita inginkan, tidak semua keinginan kita selalu baik seperti yang kita bayangkan, pasti ada kekuranganya.” Jelas Ibu Amar. Nana baru menyadari begitu berartinya dapat berkumpul bersama keluarga juga menyenangkan, bisa tertawa bersama, bercanda, dan jika sedih pasti keluarga yang menghiburnya, seharusnya ia lebih banyak bersyukur bisa berkumpul bersama keluarga tidak selalu melihat sisi negatifnya saja ia juga harus melihat sisi positifnya, daripada memiliki rumah yang begitu besar tapi tidak ada penghuninya.
Setelah mereka mengerjakan tugas kelompoknya Nana pamit pulang karena hari sudah hamper petang.
Kegiatanya dimalam hari adalah mengajar murid-muridnya mengaji setelah magrib, setelah itu ia baru belajar, terkadang ia belajar dengan Syifa’ jika ada materi yang belum ia mengerti atau hanya pinjam tempat untuk belajar, karena dirumahnya begitu ramai dengan penghuni sebanyak itu sedangkan dirumah Syifa’, hanya ada dia dan orang tuanya, Syifa’ adalah anak tunggal yang sangat patuh, orang tuanya tidak keberatan Nana belajar dirumahnya, bahkan sangat senang melihat Nana dan Syifa’ belajar bersama walaupun tingkatan mereka berbeda. Sejak dulu Nana menganggap Syifa’ sebagai temannya, namun Syifa’ menganggap Nana lebih dari sekedar teman. Ia merasa hatinya hanya ada Nana, ia merasa hanya Nana perempuan yang ia kenal, dan hanya Nana yang dapat membuatnya tersenyum. Namun, ia tidak berani menyatakan perasaannya itu, karena Nana hanya menganggapnya sebagai teman, ia tidak mungkin menghancurkan pertemanannya, melihat Nana yang selalu disampingnya itu sudah cukup.
Sudah seminggu sejak tugas biologi itu diberikan, hari ini adalah waktunya presentasi, Nana dan Amar melakukan presentasi dengan hasil pengamatannya tentang bunga Adenium itu dengan bagus, bunga itu yang dipilih Amar karena selain mudah ditemukan Amar juga ingin memberikan pengetahuan yang lebih tentang bunga yang hampir semua orang memilikinya. Nana dan Amar menadapatkan nilai tertinggi atas presentasinya.
Sejak saat itu Amar sering mengajak Nana untuk belajar bersama, mereka semakin dekat, apalagi Nana sudah melupakan kejadian pertama kali bertemu dengan Amar, sangat menjengkelkan menurutnya, namun sekarang ia baru menyadari bahwa Amar adalah anak yang menyenangkan walaupun setiap belajar mereka selalu berdebat, itu membuat Nana semakin tahu pengetahuan lain.
“Na, nanti kamu kerumahku ya!” ajak Amar
“Kenapa aku harus kerumahmu? Kau bahkan tidak pernah kerumahku!” bantah Nana, Amar hanya tersenyum. Walaupun demikian Nana tetap datang kerumah Amar, hari ini Amar banyak bertanya tentang pelajaran Bahasa Inggris, itu adalah pelajaran yang paling tidak disukai Amar, namun sangat disukai Nana.
“kenapa kau begitu suka dengan pelajaran ini?” tanya Amar sambil menutup bukunya, mengakhiri belajarnya.
“karena aku ingin tinggal diluar negeri.” Jawab Nana membuat Amar tertawa mendengarnya. “ya. Kau boleh menertawainya, namun itulah kenyataannya. Aku ingin hidup bebas, jauh dari rumah, jauh dari keluarga. Aku ingin hidup mandiri, aku ingin mengenal sisi lain dunia ini, aku ingin lari dari penyesalan.” Jelas Nana yang terbawa dengan masa lalunya. “mengapa begitu?” tanya Amar kembali “orang bilang aku berbeda, semua hilang dariku, aku tidak menemukan senyumanku seperti dulu, aku tidak menemukan cinta orang tuaku. Maaf membuatmu tahu semua ini.” Jelas Nana kembali, “haruskah kau pergi untuk mendapatkan kebahagiaanmu? Haruskah kau pergi meninggalkan keluargamu? Haruskah kau pergi untuk mendapatkan cintamu? Tidak cukupkah aku mencintaimu?” ucapan Amar membuat Nana terkejut. Ia tidak menyangka Amar mengatakan itu, ia hanya terdiam sambil menunduk membiarkan Amar yang terus menatapnya.
“aku….aku hanya ingin menunjukan bahwa aku juga bisa membahagiakan orang tuaku.” Kata Nana masih tidak ingin membalas tatapan Amar, ia masih tidak ingin mengerti maksud perkataan Amar. “apa kau tidak menyadari saat ini aku menyatakan perasaanku?” tanya Amar yakin “lihat aku!” pinta Amar, Nana memberanikan menatap Amar, Amar tersenyum manis, membuat jantung Nana berdebar-debar memacu aliran darahnya. “Kau pasti terkejut! Sejak aku bertemu denganmu perasaanku sangat aneh, aku tidak pernah merasakan hal seperti ini, semua pertanyaan ada dipikiranku, tapi tak satupun terjawabkan. Hanya satu, hatiku berkata ini adalah cinta.” Jelas Amar “Tapi kau tidak boleh mencintaiku!” tambahnya, Nana tidak mengerti kata terakhirnya “Kenapa aku tidak boleh mencintaimu?” tanya Nana tidak sabar.
“Bukan aku orang yang akan mencintaimu selalu.” Nana masih menunggu sepertinya Amar ingin berbicara lagi. “Aku hanya ingin menyatakan perasaanku, aku tidak ingin mendengar jawaban darimu, aku tidak mengaharapkan lebih darimu.” Nana semakin tidak mengerti. Hening, tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut mereka. Kenapa ada anak yang seperti dia, menyatakan cintanya, namun tidak ingin orang yang dicintainya menjawabnya? Mengapa aku tidak boleh mencintainya? Pertanyaan demi pertanyaan mengusik pikiran Nana.
“Kau tidak perlu memikirkan perkataanku!” ucap Amar sambil tersenyum melihat Nana dengan ekspresi bingungnya. “Baiklah aku akan menjawabnya. Allah yang lebih mencintaiku.” Nana kembali berpikir kemudian tersenyum puas mendengar jawaban Amar, walaupun ia ingin jawaban yang lain atas itu.
Keesokan harinya, Nana berangkat sekolah dengan senyuman menghiasi wajahnya, Syifa’ yang melihatnya ikut tersenyum, sejak Nana selalu bersama Amar, Syifa’ sering melihat Nana tersenyum dan tertawa lepas. Walaupun ada perasaan cemburu dihatinya, Syifa’ tetap senang melihat Nana yang seperti dulu, ceria dan selalu tersenyum, bahkan sekarang Nana tersenyum manis dihadapan Amar.
Senyuman itu tidak lama, Nana kembali merenung karena hari ini Amar tidak masuk. Tidak ada alas an yang pasti, hanya selembar surat yang menyatakan ia sakit. Padahal baru kemarin sore Nana bertemu dengan Amar, mengapa hari ini ia tidak masuk?.
Hingga satu minggu lebih Nana tidak melihat Amar, ia juga tidak kerumahnya, perasaannya sangat cemas, ia takut Amar sakit parah.
“Mengapa tidak kau jenguk saja dia?” tanya Syifa’ saat pulang sekolah bersama Nana
“Aku rasa aku tidak berhak menjenguknya. Aku bukan siapa-sipanya kan?”
“Aku tahu. Tapi kau yang dekat dengannya, apa salahnya kau menjenguknya? Kau kan hanya ingin tahu keadaanya sekarang.” Kata Syifa’ walaupun sangat berat mengatakan itu, namun Syifa’ tidak ingin melihat Nana sedih. “Kakak temani aku menjenguknya ya!” pinta Nana “Amar pasti senang aku mengajak kakak, dia pasti terhibur banyak teman menjenguknya.” Syifa’ mengangguk sambil tersenyum, mereka akhirnya pergi ke rumah Amar, namun dirumahnya ternyata tidak ada orang, pembantunya mengatakan mereka ke rumah sakit. Nana benar-benar cemas, khawatir, takut menjadi satu mengusik pikirannya. Beberapa kali Syifa’ menenangkan Nana, sebelum tahu pasti apa yang terjadi.
Sesampainya dirumah sakit Nana langsung mencari ruangan Amar yang telah diberitahu pembantu Amar. Disana ia melihat orang tua Amar berada diluar kamar VIP, untuk pertama kalinya Nana bertemu dengan Ayah Amar.
“Nana, darimana kau tahu kami disini?” tanya Ibu Amar. Nana masih bingung ia tidak menjawab pertanyaan Ibu Amar “Apa yang terjadi bu?” tanya Nana dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Orang tua Amar tidak menjawabnya, mereka hanya mengajak Nana dan Syifa’ masuk ke kamar tersebut. Nana terkejut begitu juga dengan Syifa’ yang melihat Amar terbaring diatas tempat tidur rumah sakit dengan beberapa alat menempel ditubuhnya, Nana mendekatinya, air matanya semakin keluar tanpa permisi. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nana “Amar menderita penyakit Leukimia Myeloid  sejak kecil. Beberapa kali kami menyuruhnya untuk operasi anti kanker, tapi ia selalu menolaknya dengan alasan. Karena Allah lebih mencintainya. Kami tidak mengerti maksudnya, tapi kami juga tidak ingin memaksanya.” Jelas Ayah Amar, Ibu Amar menangis melihat Amar. Air mata Nana terus mengalir, ia benar-benar tidak tahu kalau selama ini Amar sakit parah. “Bukankah Leukimia Myeloid bisa disembuhkan dengan donor sumsum tulang dari keluarganya?” tanya Syifa’
“Kau benar nak! Tapi ini semua sudah terlambat, kankernya sudah menyebar. Ia tidak bisa terselamatkan lagi, hanya Allah yang bisa mengijinkannya hidup.” Jelas Ayah Amar, Nana terduduk dikursi samping Amar sambil terus menangis. Orang tua Amar membiarkan mereka berdua menemani Amar.
“Kau jahat! Kenapa kau tidak memberitahuku?” tanya Nana sambil terus memandangi Amar. Syifa’ yang melihatnya hanya terdiam. “Kau sudah berjanji mengajakku melihat awal musim panas, kau bilang awal musim panas itu sangat indah. Ini hampir akan datang musim panas. Kau harus bangun! Kau tidak inginkan melewatkan musim panas ini kan? Beritahu aku seperti apa musim panasmu? Ceritakan lagi liburan musim panasmu!” kata Nana sambil terus menangis menyalahkan dirinya sendiri. “Nana, sudahlah!” yakin Syifa’ berusaha menghentikan tangisan Nana, ia tahu kesedihan Nana sangatlah luar biasa, ia pernah melihatnya dan tidak ingin untuk kedua kalinya ia melihat Nana menangis, itu membuat hatinya sakit.

Hari demi hari telah berlalu, minggu demi minggu telah berlalu. Musim panas sudah menunjukkan wajahnnya, namun Amar tak kunjung bangun, membuka matanya saja tidak. Bahkan kondisinya semakin parah. Orang tua Amar melarang Nana menjenguk Amar, mereka tidak ingin Nana sedih saat waktunya tiba.
Kali ini, untuk terakhir kalinya orang tua Amar mengijinkan Nana menjenguk Amar. “Assalamu’alaikum Amar.” Sapa Nana yang sudah berdiri disamping Amar, “Lihat aku kesini bersama kak Syifa’. Bagaimana keadaanmu?” tanya Nana, tentu saja Amar diam ia belum sadar dari tidurnya, bahkan mungkin akan selamanya ia tidur. Nana duduk disamping tempat tidur Amar sembari meraih tangan Amar dan memegangnya dengan lembut.
“Amar, musim panas sudah tiba, aku sudah melihat banyak pepohonan menunjukkan daun barunya, banyak burung-burung bangun dari sarangnya karena musim dingin sudah berlalu. Kau juga harus bangun.” Kata Nana, ia masih menahan air matanya agar tidak jatuh. “Minggu depan ada seleksi untuk perlombaan story telling, aku mengikutinya agar bisa mewakili sekolah kita.” Lanjut Nana “Nanti jika aku lolos, kau harus melihatnya. Kau harus menepati janjimu. Kak Syifa’ pernah bilang kalau manusia itu mudah lupa, ia selalu mengerti. Tapi, aku bukanlah orang yang mudah memaafkan seperti kak Syifa’, jadi kau harus bangun.” Tambahnya, kini air matanya sudah membasahi pipinya. Syifa’ meraih tangan Nana berdiri.
“Na, dia pasti bangun, kau tidak boleh egois.” Kata Syifa’. Nana mengangguk, ia tidak melanjutkannya lagi, ia hanya ingin saat ia lolos seleksi nanti Amar melihatnya.

Satu minggu kemudian. Beberapa teman Nana mengucapkan selamat untuk kelolosannya untuk mewakili sekolah dalam lomba tersebut, namun Nana tidak melihat Kak Syifa’, hingga akhirnya ia melihat Kak Syifa’ berdiri didepan gerbang sekolah dengan senyuman desela tangisan sambil membawa novelnya yang saat pertama kali bertemu Amar dan secarik surat, Nana mendekatinya. Kenapa Kak Syifa’ membawa novel itu? Darimana ia mendapatkannya? Bukankah novel itu sudah dirampas oleh Pak Arif, apakah Amar waktu itu mengambilnya? Perasaan Nana semakin tidak karuan.
“Kak, aku lolos!” ucap Nana sembari memberikan senyumannya, Syifa’ juga tersenyum, namun jelas sekali Syifa’ bersedih hari ini. “Kenapa kakak menangis?” tanya Nana, ia semakin curiga “Apa yang sebenarnya terjadi? Jangan bilang ini ada kaitannya dengan Amar!” tambah Nana, air matanya kini sudah ingin keluar, dia tidak sanggup lagi menahannya, ia menutup telinganya dengan kedua tangannya, “Aku tidak ingin mendengarnya, aku tidak ingin mendengarnya!” Kata Nana setengah teriak sambil menangis. Syifa’ meraih kedua tangan Nana dan meyakinkannya “Nana, aku tahu kau tidak bisa menerima semua ini. Tapi kau harus bisa menerimanya!” kata Syifa’ “Dia mencampakkanku!” ucap Nana “Tidak… dia tidak mencampakkanmu. Allah lebih mencintai dia daripada cintamu terhadapnya. Kau harus merelakannya!” yakin Syifa’ lagi. Syifa’ tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan, sudah terlalu sering ia melihat Nana menangis dan hanya sebentar melihatnya tertawa, kenapa sekarang ia kembali menangis? Kenapa musim panas yang indah ini ada hujan?.
Amar sudah tidak tahan lagi melihat Nana menangis, perlahan ia merebahkan kepala Nana didadanya, membiarkan Nana membasahi bajunya dengan tangisnya, lebih baik daripada terus melihat tangisan Nana. Syifa’ berharap ada pelangi setelah hujan dimusim panas ini, pelangi yang tidak akan hilang terbias cahaya, pelangi yang akan terus berada disela-sela wajah Nana.
Pertemuan singkat Nana dengan Amar. Membawa perubahan yang besar di hidup Nana, ia semakin sabar menghadapi hidup, lebih mendekatkan diri kepada Allah, belajar mencintai Allah, dan mencintai keluarga dan teman-temannya. Ada senyum diwajah Nana seperti harapan Syifa’. Kini Nana tidak lagi selalu bersedih, ia akan selalu tersenyum desela-sela harinya.


~ The End ~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar