Hujan di Musim Panas
Penulis :
Cholifatur Rohmah
Genre : School, romantic, friendship
Tokoh utama:~ Nana
~ Amar
~ Syifa’
Di pagi yang
cerah……………………….
“Nana, kamu beli sarapan di sekolah
ya! Ibu tidak sempat membuatkanmu sarapan!” jelas ibu sambil menyuapkan makanan
untuk cucu satu-satunya itu. Nana hanya terdiam dan sesekali ia melirik
kakaknya yang sedang sarapan dimeja makan. Ya, ibunya selalu membelikan sarapan
untuk kakaknya, namun tidak pernah membelikan untuk Nana, itu karena sekolah
Nana tidaklah terlalu jauh dari rumahnya, sedangkan kakaknya yang sudah kuliah
disalah satu Politeknik Kesehatan Jurusan Keperawatan Negeri yang harus ia
tempuh dengan sepedah motor barunya, walaupun baru mengambil jurusan DIII,
namun orang tua Nana begitu membanggakan anak nomor dua itu, mungkin orang tua
Nana berpikir bahwa hanya anak itu yang bisa membuat kehidupan mereka lebih
baik, setelah Kakak pertamanya yang penurut hanya menjadi seorang office boy
disalah satu perkantoran, dan setelah kasih sayang orang tuanya hilang pada
diri Nana. Semua berubah pada diri Nana, dari yang ceria, murah senyum, dan
sangat manis menjadi anak cuek, tidak pernah peduli dengan apa yang orang
lakukan disekitarnya.
“Bu, Nana berangkat!
Assalamu’alaikum!” ucap Nana sembari mencium tangan Ibunya dan pergi.
“Wa’alaikum salam” jawab ibunya
singkat.
Nana
berjalan keluar rumah menuju sekolahnya, dia sekarang duduk dikelas 10 Aliyah
Negeri, setelah dinyatakan tidak masuk disekolah favorit. Itu yang membuatnya
berubah, hanya satu yang ada dipikirannya bahwa ia harus mengubah dunia, entah
bagaimana caranya, karena dunia telah mengubah hidupnya menjadi seperti ini,
dikhianati teman, mendapat ejekan dari orang, dan kehilangan kasih sayang kedua
orang tuanya.
“Nana!”
sapa seorang laki-laki dari belakang, Nana sangat mengenal suara tersebut,
segera ia berhenti dan melihat kebelakang. Itu adalah Kak Syifa’, kakak
kelasnya sekaligus teman belajarnya sejak kecil. Dia adalah anak yang cerdas
sama seperti Nana, sejak dulu tujuan orang tuanya juga menyekolahkannya disana
karena ingin mendapatkan pendidikan yang lebih.
“Seharusnya
kau menjemputku! Kenapa berjalan terus?” Tanya Syifa’ yang sekarang sudah
berada disamping Nana, berjalan sambil berbincang-bincang.
“Ma’af
kak! Aku kira kakak sudah berangkat dulu” Jawab Nana dengan diselingi senyum
tipisnya.
“Tidak
apa-apa.” Kata Syifa’ “Oh ya, nanti kamu jadi belajar dirumahku kan?”
“Jadilah
kak! Janji kan harus ditepati”
“Terkadang
manusia selalu lupa dengan yang diucapkannya. Aku selalu mengerti itu!”
“Iya
kak!”
“Tapi
aku orang yang mudah memaafkan” Nana hanya membalasnya dengan senyuman. Hanya
Syifa’ teman satu-satu Nana yang lebih mengerti akan dirinya, namun Nana tidak
pernah menyadari akan hal itu. Ia berpikir didunia ini tidak ada teman sejati,
yang ada adalah saling memanfaatkan satu dengan yang lainnya.
Krrrriiiiiinnngggg…………………………….!!!!!!
Suara bel berbunyi. Terlihat semua murid sudah masuk kekelasnya masing-masing.
Dikelas Nana duduk sebangku dengan Rika, anak yang cerewet namun begitu ramah
dan baik dengan Nana.
“Assalamu’alaikum
tuan putri” goda Rika terhadap Nana, dengan senyum lebarnya yang tidak lepas
menghiasi wajahnya. Itu membuat matanya yang sipit semakin hilang.
“Wa’alaikum
salam” jawab Nana dengan masih fokus dengan novel yang ia baca. Nana selalu
membaca novel sambil menunggu guru masuk, itu membuatnya lebih fres sebelum
berhadapan dengan pelajaran yang akan diberikan oleh gurunya, itu adalah salah
satu hobinya.
“Serius
amat membacanya!” goda Rika, Nana tidak memperdulikan teman sebangkunya itu. Tiba-tiba
seorang guru laki-laki masuk.
“Assalamu’alaikum
Wr.Wb” ucap sang guru sambil duduk dibangku guru
“Wa’alaikum
salam Wr.Wb” jawab murid-murid serempak
“Anak-anak
sekarang bapak ingin memperkenalkan salah satu murid baru disini.” Semua murid
penasaran dengan murid baru tersebut.
“Eh,
Na! ada murid baru nih!” ucap Rika. Nana masih fokus dengan novelnya.
“Baik,
langsung saja, silakan masuk!” pinta guru pada seorang murid yang masih diluar.
Seorang
murid laki-laki masuk dengan senyum ramahnya. Dan berdiri disamping pak guru
dan memperkenalkan diri.
“Assalamu’alaikum
Wr.Wb saya murid baru disini, perkenalkan nama saya Amar ahsanurrijal, nama
panggilan saya Amar. Mungkin hanya itu perkenalan singkat dari saya, mohon
bantuannya” Jelas Amar
Murid-murid
hanya biasa mengucapkan “Ooohhh!” untuk Amar.
“Baiklah
Amar silakan duduk!” perintah guru. Amar berjalan mencari bangku yang kosong,
dan ia duduk disebelah bangku Nana.
“Hai,
aku Amar!” kata Amar sambil melihat kearah Nana. Nana akhirnya menutup novelnya
“Aku sudah tahu.” Jawab Nana singkat dengan senyum tipisnya, melihat perilaku
Nana yang tidak menghargai Amar, Rika langsung mengambil alih pembicaraan. “Aku
Rika, senang berkenalan denganmu, semoga kau betah disini.” Kata Rika dengan
senyumnya yang bersahabat, Amar juga membalas senyumnya.
“Wah,
ternyata kau suka membaca novel ya?” Tanya Amar
“Iya,
kenapa?” balik tanya Nana
“Tidak
ada apa-apa,” jawab Amar “pelajaran akan segera dimulai seharusnya kau
memasukkanya ditasmu”
“Tidak
perlu! Ini tidak terlalu menggangguku”
Amar
begitu penasaran dengan novel yang Nana baca, ia pun meraih novel tersebut,
saking terkejutnya, Amar berkata begitu keras “Wah, ini kan keluaran baru novel
karya Ilana Tan, dari mana kau mendapatkan ini?” Nana sangat kaget dengan
perilaku Amar yang tiba-tiba, segera ia meraih novelnya dari tangan Amar.
Namun, semua terlambat pak guru sudah mendengarkan ucapan Amar dan merasa tidak
dihargai kehadirannya oleh Nana, ia mengira Nana membaca novel disaat
pelajarannya berlangsung.
“Nana
apa yang kamu lakukan?” bentak pak guru “membaca buku yang tidak ada kaitannya
dengan pelajaran saya, dan membuat gaduh kelas!”
“Tidak
pak!” ucap Nana membela diri, namun segera terpotong dengan pak guru “Pokoknya
saya akan mengambil buku ini, jika terjadi kejadian seperti ini lagi, sebaiknya
kamu jangan ikut pelajaran saya!” jelas pak guru sambil merampas novel Nana.
Bel
berbunyi tanda pulang sekolah. Amar terus meminta maaf kepada Nana sepanjang
pelajaran dan istirahat, sampai pulang sekolahpun ia masih memohon maaf dan
berjanji akan mengambil novelnya. “Aku mohon maafkan aku! Aku berjanji akan
menjelaskan yang sebenarnya pada guru tadi, dan….” Sebelum selesai berbicara
Nana memotongnya “Sudahlah!” bentak Nana yang sudah merasa risih “Aku
memaafkanmu, dan kau tidak perlu menjelaskannya! Sekarang jangan ikuti aku!”
Amar merasa terlalu adil untuknya “Tidak ini semua salahku! Aku akan mengambil
novel itu, aku janji!” “Terserah apa katamu!” ucap Nana dan pergi meninggalkan
Amar, ia begitu jengkel dengan Amar.
Keesokan
harinya, Amar berusaha menemui guru kemarin namun, ia tidak tahu siapa nama
guru yang mengambil novel Nana, akhirnya ia bertanya kepada teman sebangkunya
dan segera menemui guru kemarin. “Asslamu’alaikum Pak Arif” ucap Amar yang
sudah berdiri disamping meja guru Fisika tersebut “Wa’alaikum salam ada yang
bisa saya bantu?” tanya Pak Arif. “Ehm, bigini pak! Sebelumnya saya minta maaf
mengganggu bapak, tapi sebenarnya tujuan saya kemari ingin mengambil buku milik
Nana yang bapak ambil kemarin.” Jelas Amar dengan begitu santun, “Mengapa kamu
yang mengambilnya?” tanya Pak Arif “Seharusnya Nana sendiri yang mengambil.”
“Kejadian
kemarin itu salah saya, Nana tidak membaca buku itu, dia baru akan memasukanya
kedalam tas namun, karena saya yang begitu penasaran dengan buku tersebut, saya
mengambilnya” jelas Amar
“Benarkah?”
tanya Pak Arif “Kalau begitu kejadiannya, saya akan mengembalikan bukunya.”
“Terima
kasih pak!”
“Tapi,
dengan syarat kamu tidak boleh ngobrol saat pelajaran berlangsung, bukan hanya
saat pelajaran saya tapi, semua pelajaran yang kamu ikuti. Ini peringatan!”
“Sekali
lagi terima kasih pak! Saya tidak akan mengulanginya lagi!”
Amar
membawa novel Nana dengan perasaan lega, ia benar-benar senang hari ini!
Di kelas………….
“Na, aku dengar Amar minta ma’af
kepadamu terus ya?” tanya Rika
“Why?”
balik tanya Nana dengan logat Inggrisnya yang khas
“Kan
kasihan Amar, seharusnya kau memaafkannya!”
“Aku
sudah memaafkannya.”
“Benarkah?”
tanya Rika yang begitu penasaran sambil memandangi Nana yang hanya dengan
ekspresi polosnya.
“Ada
apa lagi?” tanya Nana yang merasa diperhatikan
“Kalau
begitu aku pinjam buku Sejarahmu!” ucap Rika dengan wajah manjanya.
“Dasar
kau! Kenapa tidak langsung saja kalau mau pinjam!” oceh Nana “Memangnya kemarin
kamu tidak menulis materinya?”
“Aku
sangat ngantuk, kau tau sendirikan jika guru itu kalau lagi dongeng semua murid
pasti pada ngantuk!” jelas Rika sambil menyindir guru sejarahnya.
“Itu
lah orang yang jarang membasuh tubuhnya dengan air wudhu, jadinya ngantuk,
malas, dan lambat!” Oceh Nana kembali, Rika hanya tersenyum malu dan meraih
buku milik Nana.
Akhirnya
jam ke-8 dimulai, segera Bu Ida selaku guru Biologi menjelaskan materi tentang
metode Ilmiah.
“Sesuai materi ini, ibu akan mempasangkan
kalian untuk tugas kelompok.” Jelas Bu Ida sebelum mengakhiri KBM. “Tapi, bukan
sebangku, akan ibu acak dan kalian yang pilih sendiri.” Jelas Bu Ida membuat
semua murid mengeluh termasuk Rika yang tadinya senang bisa satu kelompok
dengan Nana akhirnya hilang kesempatan itu. Setiap anak maju satu persatu dan
mengambil kertas yang sudah digulung berisi nama pasangan kelompok mereka
masing-masing “Yah…..! kenapa aku bisa mengambil nama Vita!” keluh Rika yang
sangat begitu tidak suka dengan pasangannya “Aku juga tidak menyangka bisa satu
kelompok dengan perempuan centil sepertimu!” bantah Vita yang mendengar ucapan
Rika, tanpa disuruhpun mereka berdua sudah saling adu mulut mengandalkan
kecerewetannya masing-masing. ‘’Bagaimana ini? Rika sudah dengan Vita, lalu aku
dengan siapa?’’ batin Nana yang sudah bersiap memilih salah satu gulungan yang
ada didepannya. “Ayo Nana!” suruh Bu Ida, dengan langkah berat Nana mengambil
salah satu gulungan “Bissmillahirrohmanirrohim……..” ucap Nana sambil membuka
gulungan itu perlahan.
“Silakan
baca, siapa namanya?” pinta Bu Ida lagi.
Krrrriiiiiinnngggggg………………………..
(bel pulang sekolah)
“Wah, aku tidak menyangka bisa satu kelompok
denganmu!” kata anak laki-laki yang sudah berjalan keluar gerbang bersama Nana.
‘’Mimpi apa kau semalam bisa satu kelompok dengan anak ini’’ batin Nana.
“Bagaimana kalau belajarnya dirumahku saja?” tawar Amar. “Kenapa harus
dirumahmu? Aku yang memilihmu, seharusnya kau menuruti keinginanku!” jawab
Nana.
“Aku
orang baru pindah. Tidak begitu hafal dengan jalanan disini.”
“Itu
masalahmu!”
“Ayo
lah! Aku kasih alamatku!” segera Amar menulis alamtnya dan memberikan kepada
Nana “Aku tunggu dirumah! Assalamu’alaikum.” Ucap Amar yang langsung pergi,
“Eh, tung….! Wa’alaikumsalam” Nana
kembali berjalan sendirian, ternyata Syifa’ sudah memperhatikannya sejak tadi.
“Hai!” sapa Syifa’ sambil berjalan disamping Nana “Hai!” jawab Nana dengan
senyumnya “Siapa anak tadi?” tanya Syifa’
“Dia
anak baru disini.”
“Benarkah?
Kelihatannya kalian begitu akrab.”
“Aahh!
Tidak juga” Syifa’ hanya mengangguk, mereka kembali berjalan pulang.
Sore
yang cerah itu, Nana bingung mencari rumah Amar yang berada diperumahan yang
elite, hingga akhirnya ia bertanya satpam yang sedang bertugas disana. Sekarang
Nana sudah berada didepan rumah yang cukup besar, terlihat dihalaman rumah itu
banyak tanaman bunga yang menghiasi rumah, beberapa diantaranya tanaman bongsai
dan rumput hias, dan membuat rumah itu begitu sejuk dengan beberapa pohon
mangga yang tidak terlalu besar namun lebat.
“Assalamu’alaikum”
ucap Nana sambil mengetuk pintu rumah
“Wa’alaikum
salam” jawab seorang wanita setengah baya sambil membuka pintu, wanita itu
begitu ramah, terlihat dengan senyumnya yang hangat. “Adek temannya Amar ya?”
tanya wanita itu, Nana berpikir wanita itu pasti ibu Amar, ia menjawabnya
dengan begitu ramah pula “Iya tante, kami akan belajar kelompok.”
“Jangan
panggil tante, saya kan tidak terlalu tua, panggil saja ibu.”
“Iya
bu!”
“Oh
ya, ayo masuk. Amar sudah menunggu!” ajak Ibu Amar, Nana mengikutinya hingga
ruang tamu, segera Ibu Amar memanggil Amar dan beberapa saat Amar keluar dan
tersenyum melihat Nana yang sudah duduk manis diruang tamu, ibunya membiarkan
mereka berdua.
“Wah,
ternyata kau sudah datang, apa kau tidak bingung mencari rumahku?”
“Allah
selalu memberi jalan yang terang bagi hambaNya yang selalu ta’at” Amar hanya
tersenyum puas mendengar jawaban Nana “Na, sebelum belajar kita makan dulu ya!”
ajak Amar “Ah, tidak perlu aku sudah makan dari rumah.” Jawab Nana
“Ayolah!
Ibuku sudah memasakkan untukmu, apa kau mau menolaknya?”
“Benarkah?
Kenapa begitu repot-repot?” tanya Nana “pasti kau yang menyuruhnya!”
“Tidak!”
jawab Amar “Ibuku selalu begitu kalau ada temanku kerumah, dia akan melayani
tamunya bagaikan raja. Bukankah ada pepatah seperti itu kan?” Nana tidak
mungkin menolak ajakan Amar, bukan karena Amar, tapi karena ia merasa tidak
enak dengan ibu Amar yang sudah repot-repot memasakkan makanan untuknya.
“Nana
makan yang banyak ya!” pinta ibu Amar yang tak lepas dengan senyumnya yang
begitu hangat, Nana hanya mengangguk sambil tersenyum, mereka mengobrol tentang
kehidupan masing-masing, itu membuat Nana merasa nyaman, sudah lama sekali ia
tidak pernah berkumpul bersama keluargnya sambil bercanda.
“Pasti
menyenangkan bisa berkumpul bersama keluarga” kata Ibu Amar
“Tidak
juga” jawab Nana “terkadang kita harus saling membagi sesuatu, entah barang
ataupun makanan, itu juga tidak lepas dengan rasa iri jika salah satu anggota
keluarga tidak mendapatkan bagian, dan pastinya bisa menimbulkan pertengkaran.”
“Oh
ya? Kami tidak tahu itu, karena kami jarang berkumpul bersama.” Sahut Amar
“Ayah
Amar bekerja diluar kota hanya sebulan sekali ia pulang, itupun juga belum
tentu ia bisa pulang, sedangkan kakak Amar yang sudah berkeluarga memilih hidup
bersama keluarga barunya, jadi dirumah yang luas ini hanya ada aku dan Amar,
dan itu juga sangat sepi.” Tambah Ibu Amar
“Aku
baru tahu itu.” Kata Nana dengan tersenyum
“Kita
tidak akan tahu apa yang terjadi dibalik apa yang kita inginkan, tidak semua
keinginan kita selalu baik seperti yang kita bayangkan, pasti ada kekuranganya.”
Jelas Ibu Amar. Nana baru menyadari begitu berartinya dapat berkumpul bersama
keluarga juga menyenangkan, bisa tertawa bersama, bercanda, dan jika sedih
pasti keluarga yang menghiburnya, seharusnya ia lebih banyak bersyukur bisa
berkumpul bersama keluarga tidak selalu melihat sisi negatifnya saja ia juga
harus melihat sisi positifnya, daripada memiliki rumah yang begitu besar tapi
tidak ada penghuninya.
Setelah
mereka mengerjakan tugas kelompoknya Nana pamit pulang karena hari sudah hamper
petang.
Kegiatanya
dimalam hari adalah mengajar murid-muridnya mengaji setelah magrib, setelah itu
ia baru belajar, terkadang ia belajar dengan Syifa’ jika ada materi yang belum
ia mengerti atau hanya pinjam tempat untuk belajar, karena dirumahnya begitu
ramai dengan penghuni sebanyak itu sedangkan dirumah Syifa’, hanya ada dia dan
orang tuanya, Syifa’ adalah anak tunggal yang sangat patuh, orang tuanya tidak
keberatan Nana belajar dirumahnya, bahkan sangat senang melihat Nana dan Syifa’
belajar bersama walaupun tingkatan mereka berbeda. Sejak dulu Nana menganggap
Syifa’ sebagai temannya, namun Syifa’ menganggap Nana lebih dari sekedar teman.
Ia merasa hatinya hanya ada Nana, ia merasa hanya Nana perempuan yang ia kenal,
dan hanya Nana yang dapat membuatnya tersenyum. Namun, ia tidak berani
menyatakan perasaannya itu, karena Nana hanya menganggapnya sebagai teman, ia
tidak mungkin menghancurkan pertemanannya, melihat Nana yang selalu
disampingnya itu sudah cukup.
Sudah
seminggu sejak tugas biologi itu diberikan, hari ini adalah waktunya
presentasi, Nana dan Amar melakukan presentasi dengan hasil pengamatannya
tentang bunga Adenium itu dengan bagus, bunga itu yang dipilih Amar
karena selain mudah ditemukan Amar juga ingin memberikan pengetahuan yang lebih
tentang bunga yang hampir semua orang memilikinya. Nana dan Amar menadapatkan
nilai tertinggi atas presentasinya.
Sejak
saat itu Amar sering mengajak Nana untuk belajar bersama, mereka semakin dekat,
apalagi Nana sudah melupakan kejadian pertama kali bertemu dengan Amar, sangat
menjengkelkan menurutnya, namun sekarang ia baru menyadari bahwa Amar adalah
anak yang menyenangkan walaupun setiap belajar mereka selalu berdebat, itu
membuat Nana semakin tahu pengetahuan lain.
“Na,
nanti kamu kerumahku ya!” ajak Amar
“Kenapa
aku harus kerumahmu? Kau bahkan tidak pernah kerumahku!” bantah Nana, Amar
hanya tersenyum. Walaupun demikian Nana tetap datang kerumah Amar, hari ini
Amar banyak bertanya tentang pelajaran Bahasa Inggris, itu adalah pelajaran
yang paling tidak disukai Amar, namun sangat disukai Nana.
“kenapa
kau begitu suka dengan pelajaran ini?” tanya Amar sambil menutup bukunya,
mengakhiri belajarnya.
“karena
aku ingin tinggal diluar negeri.” Jawab Nana membuat Amar tertawa mendengarnya.
“ya. Kau boleh menertawainya, namun itulah kenyataannya. Aku ingin hidup bebas,
jauh dari rumah, jauh dari keluarga. Aku ingin hidup mandiri, aku ingin
mengenal sisi lain dunia ini, aku ingin lari dari penyesalan.” Jelas Nana yang
terbawa dengan masa lalunya. “mengapa begitu?” tanya Amar kembali “orang bilang
aku berbeda, semua hilang dariku, aku tidak menemukan senyumanku seperti dulu,
aku tidak menemukan cinta orang tuaku. Maaf membuatmu tahu semua ini.” Jelas
Nana kembali, “haruskah kau pergi untuk mendapatkan kebahagiaanmu? Haruskah kau
pergi meninggalkan keluargamu? Haruskah kau pergi untuk mendapatkan cintamu?
Tidak cukupkah aku mencintaimu?” ucapan Amar membuat Nana terkejut. Ia tidak
menyangka Amar mengatakan itu, ia hanya terdiam sambil menunduk membiarkan Amar
yang terus menatapnya.
“aku….aku
hanya ingin menunjukan bahwa aku juga bisa membahagiakan orang tuaku.” Kata
Nana masih tidak ingin membalas tatapan Amar, ia masih tidak ingin mengerti
maksud perkataan Amar. “apa kau tidak menyadari saat ini aku menyatakan
perasaanku?” tanya Amar yakin “lihat aku!” pinta Amar, Nana memberanikan
menatap Amar, Amar tersenyum manis, membuat jantung Nana berdebar-debar memacu
aliran darahnya. “Kau pasti terkejut! Sejak aku bertemu denganmu perasaanku
sangat aneh, aku tidak pernah merasakan hal seperti ini, semua pertanyaan ada
dipikiranku, tapi tak satupun terjawabkan. Hanya satu, hatiku berkata ini
adalah cinta.” Jelas Amar “Tapi kau tidak boleh mencintaiku!” tambahnya, Nana
tidak mengerti kata terakhirnya “Kenapa aku tidak boleh mencintaimu?” tanya
Nana tidak sabar.
“Bukan
aku orang yang akan mencintaimu selalu.” Nana masih menunggu sepertinya Amar
ingin berbicara lagi. “Aku hanya ingin menyatakan perasaanku, aku tidak ingin
mendengar jawaban darimu, aku tidak mengaharapkan lebih darimu.” Nana semakin
tidak mengerti. Hening, tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut mereka.
Kenapa ada anak yang seperti dia, menyatakan cintanya, namun tidak ingin orang
yang dicintainya menjawabnya? Mengapa aku tidak boleh mencintainya? Pertanyaan
demi pertanyaan mengusik pikiran Nana.
“Kau
tidak perlu memikirkan perkataanku!” ucap Amar sambil tersenyum melihat Nana
dengan ekspresi bingungnya. “Baiklah aku akan menjawabnya. Allah yang lebih
mencintaiku.” Nana kembali berpikir kemudian tersenyum puas mendengar jawaban
Amar, walaupun ia ingin jawaban yang lain atas itu.
Keesokan
harinya, Nana berangkat sekolah dengan senyuman menghiasi wajahnya, Syifa’ yang
melihatnya ikut tersenyum, sejak Nana selalu bersama Amar, Syifa’ sering
melihat Nana tersenyum dan tertawa lepas. Walaupun ada perasaan cemburu
dihatinya, Syifa’ tetap senang melihat Nana yang seperti dulu, ceria dan selalu
tersenyum, bahkan sekarang Nana tersenyum manis dihadapan Amar.
Senyuman
itu tidak lama, Nana kembali merenung karena hari ini Amar tidak masuk. Tidak
ada alas an yang pasti, hanya selembar surat yang menyatakan ia sakit. Padahal
baru kemarin sore Nana bertemu dengan Amar, mengapa hari ini ia tidak masuk?.
Hingga
satu minggu lebih Nana tidak melihat Amar, ia juga tidak kerumahnya, perasaannya
sangat cemas, ia takut Amar sakit parah.
“Mengapa
tidak kau jenguk saja dia?” tanya Syifa’ saat pulang sekolah bersama Nana
“Aku
rasa aku tidak berhak menjenguknya. Aku bukan siapa-sipanya kan?”
“Aku
tahu. Tapi kau yang dekat dengannya, apa salahnya kau menjenguknya? Kau kan
hanya ingin tahu keadaanya sekarang.” Kata Syifa’ walaupun sangat berat
mengatakan itu, namun Syifa’ tidak ingin melihat Nana sedih. “Kakak temani aku
menjenguknya ya!” pinta Nana “Amar pasti senang aku mengajak kakak, dia pasti terhibur
banyak teman menjenguknya.” Syifa’ mengangguk sambil tersenyum, mereka akhirnya
pergi ke rumah Amar, namun dirumahnya ternyata tidak ada orang, pembantunya
mengatakan mereka ke rumah sakit. Nana benar-benar cemas, khawatir, takut
menjadi satu mengusik pikirannya. Beberapa kali Syifa’ menenangkan Nana,
sebelum tahu pasti apa yang terjadi.
Sesampainya
dirumah sakit Nana langsung mencari ruangan Amar yang telah diberitahu pembantu
Amar. Disana ia melihat orang tua Amar berada diluar kamar VIP, untuk pertama
kalinya Nana bertemu dengan Ayah Amar.
“Nana,
darimana kau tahu kami disini?” tanya Ibu Amar. Nana masih bingung ia tidak
menjawab pertanyaan Ibu Amar “Apa yang terjadi bu?” tanya Nana dengan mata yang
sudah berkaca-kaca. Orang tua Amar tidak menjawabnya, mereka hanya mengajak
Nana dan Syifa’ masuk ke kamar tersebut. Nana terkejut begitu juga dengan
Syifa’ yang melihat Amar terbaring diatas tempat tidur rumah sakit dengan
beberapa alat menempel ditubuhnya, Nana mendekatinya, air matanya semakin keluar
tanpa permisi. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nana “Amar menderita
penyakit Leukimia Myeloid sejak
kecil. Beberapa kali kami menyuruhnya untuk operasi anti kanker, tapi ia selalu
menolaknya dengan alasan. Karena Allah lebih mencintainya. Kami tidak mengerti
maksudnya, tapi kami juga tidak ingin memaksanya.” Jelas Ayah Amar, Ibu Amar
menangis melihat Amar. Air mata Nana terus mengalir, ia benar-benar tidak tahu
kalau selama ini Amar sakit parah. “Bukankah Leukimia Myeloid bisa disembuhkan
dengan donor sumsum tulang dari keluarganya?” tanya Syifa’
“Kau
benar nak! Tapi ini semua sudah terlambat, kankernya sudah menyebar. Ia tidak
bisa terselamatkan lagi, hanya Allah yang bisa mengijinkannya hidup.” Jelas
Ayah Amar, Nana terduduk dikursi samping Amar sambil terus menangis. Orang tua
Amar membiarkan mereka berdua menemani Amar.
“Kau
jahat! Kenapa kau tidak memberitahuku?” tanya Nana sambil terus memandangi
Amar. Syifa’ yang melihatnya hanya terdiam. “Kau sudah berjanji mengajakku
melihat awal musim panas, kau bilang awal musim panas itu sangat indah. Ini
hampir akan datang musim panas. Kau harus bangun! Kau tidak inginkan melewatkan
musim panas ini kan? Beritahu aku seperti apa musim panasmu? Ceritakan lagi
liburan musim panasmu!” kata Nana sambil terus menangis menyalahkan dirinya
sendiri. “Nana, sudahlah!” yakin Syifa’ berusaha menghentikan tangisan Nana, ia
tahu kesedihan Nana sangatlah luar biasa, ia pernah melihatnya dan tidak ingin
untuk kedua kalinya ia melihat Nana menangis, itu membuat hatinya sakit.
Hari
demi hari telah berlalu, minggu demi minggu telah berlalu. Musim panas sudah
menunjukkan wajahnnya, namun Amar tak kunjung bangun, membuka matanya saja
tidak. Bahkan kondisinya semakin parah. Orang tua Amar melarang Nana menjenguk
Amar, mereka tidak ingin Nana sedih saat waktunya tiba.
Kali
ini, untuk terakhir kalinya orang tua Amar mengijinkan Nana menjenguk Amar.
“Assalamu’alaikum Amar.” Sapa Nana yang sudah berdiri disamping Amar, “Lihat
aku kesini bersama kak Syifa’. Bagaimana keadaanmu?” tanya Nana, tentu saja
Amar diam ia belum sadar dari tidurnya, bahkan mungkin akan selamanya ia tidur.
Nana duduk disamping tempat tidur Amar sembari meraih tangan Amar dan
memegangnya dengan lembut.
“Amar,
musim panas sudah tiba, aku sudah melihat banyak pepohonan menunjukkan daun
barunya, banyak burung-burung bangun dari sarangnya karena musim dingin sudah
berlalu. Kau juga harus bangun.” Kata Nana, ia masih menahan air matanya agar
tidak jatuh. “Minggu depan ada seleksi untuk perlombaan story telling, aku mengikutinya
agar bisa mewakili sekolah kita.” Lanjut Nana “Nanti jika aku lolos, kau harus
melihatnya. Kau harus menepati janjimu. Kak Syifa’ pernah bilang kalau manusia
itu mudah lupa, ia selalu mengerti. Tapi, aku bukanlah orang yang mudah
memaafkan seperti kak Syifa’, jadi kau harus bangun.” Tambahnya, kini air
matanya sudah membasahi pipinya. Syifa’ meraih tangan Nana berdiri.
“Na,
dia pasti bangun, kau tidak boleh egois.” Kata Syifa’. Nana mengangguk, ia
tidak melanjutkannya lagi, ia hanya ingin saat ia lolos seleksi nanti Amar
melihatnya.
Satu
minggu kemudian. Beberapa teman Nana mengucapkan selamat untuk kelolosannya
untuk mewakili sekolah dalam lomba tersebut, namun Nana tidak melihat Kak
Syifa’, hingga akhirnya ia melihat Kak Syifa’ berdiri didepan gerbang sekolah
dengan senyuman desela tangisan sambil membawa novelnya yang saat pertama kali
bertemu Amar dan secarik surat, Nana mendekatinya. Kenapa Kak Syifa’ membawa
novel itu? Darimana ia mendapatkannya? Bukankah novel itu sudah dirampas oleh
Pak Arif, apakah Amar waktu itu mengambilnya? Perasaan Nana semakin tidak
karuan.
“Kak,
aku lolos!” ucap Nana sembari memberikan senyumannya, Syifa’ juga tersenyum,
namun jelas sekali Syifa’ bersedih hari ini. “Kenapa kakak menangis?” tanya
Nana, ia semakin curiga “Apa yang sebenarnya terjadi? Jangan bilang ini ada
kaitannya dengan Amar!” tambah Nana, air matanya kini sudah ingin keluar, dia
tidak sanggup lagi menahannya, ia menutup telinganya dengan kedua tangannya,
“Aku tidak ingin mendengarnya, aku tidak ingin mendengarnya!” Kata Nana
setengah teriak sambil menangis. Syifa’ meraih kedua tangan Nana dan
meyakinkannya “Nana, aku tahu kau tidak bisa menerima semua ini. Tapi kau harus
bisa menerimanya!” kata Syifa’ “Dia mencampakkanku!” ucap Nana “Tidak… dia
tidak mencampakkanmu. Allah lebih mencintai dia daripada cintamu terhadapnya.
Kau harus merelakannya!” yakin Syifa’ lagi. Syifa’ tidak tahu lagi apa yang
harus ia katakan, sudah terlalu sering ia melihat Nana menangis dan hanya
sebentar melihatnya tertawa, kenapa sekarang ia kembali menangis? Kenapa musim
panas yang indah ini ada hujan?.
Amar
sudah tidak tahan lagi melihat Nana menangis, perlahan ia merebahkan kepala
Nana didadanya, membiarkan Nana membasahi bajunya dengan tangisnya, lebih baik
daripada terus melihat tangisan Nana. Syifa’ berharap ada pelangi setelah hujan
dimusim panas ini, pelangi yang tidak akan hilang terbias cahaya, pelangi yang
akan terus berada disela-sela wajah Nana.
Pertemuan
singkat Nana dengan Amar. Membawa perubahan yang besar di hidup Nana, ia
semakin sabar menghadapi hidup, lebih mendekatkan diri kepada Allah, belajar
mencintai Allah, dan mencintai keluarga dan teman-temannya. Ada senyum diwajah
Nana seperti harapan Syifa’. Kini Nana tidak lagi selalu bersedih, ia akan
selalu tersenyum desela-sela harinya.
~ The End ~